Ziarah merupakan novel karya Iwan Simatupang yang diterbitkan pertama kali oleh Djambatan pada tahun 1969. Naskah Ziarah sudah diserahkan oleh pengarang kepada penerbit Djambatan pada tahun 1960, tetapi baru dicetak pada tahun 1969. Cetakan pertama itu bertiras 3.000 eksemplar. Cetakan kedua diterbitkan pada tahun 1976 dengan tiras 4.000 ekemplar. Cetakan ketiga dilakukan pada tahun 1983 dengan tiras 4.000 eksemplar. Dua tahun kemudian dilakukan cetakan keempat dengan tiras 12.500 eksemplar. Pada cetakan keempat, novel Ziarah itu dibeli oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan bahan bacaan yang penting bagi siswa sekolah menengah atas. Cetakan kelima diterbitkan pada tahun 1988 dengan tiras 3.000 eksemplar dan cetakan ketujuh diterbitkan pada tahun 2001.
Novel Ziarah membawa Iwan Simatupang untuk memperoleh Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) pada tahun 1977, tujuh tahun setelah sang pengarang meninggal dunia. Menurut Jakob Sumardjo, Ziarah muncul ketika ada demam eksistensialisme. Novel itu mendapat sambutan positif dari sastrawan dan pengamat sastra. Novel Ziarah bercerita tentang "tokoh kita" yang dianggap sebagai manusia aneh. Cerita diawali dengan berlarinya tokoh kita ke persimpangan pertama jalan setiap pagi untuk mengharapkan pertemuannya dengan istrinya yang telah lama meninggal dunia. Apabila gagal menemui istrinya, ia memastikan dirinya bahwa besok dapat bertemu dengan istrinya itu. Orang-orang sudah tahu akan kelakuannya yang aneh itu. Ia mengalami rusak syaraf. Di warung ia menuangkan tuak penuh-penuh ke gelasnya. Ia tertawa keras-keras dan kemudian menangis keras-keras. Setelah itu, ia diusung orang untuk diantarkan ke tempat kediamannya. Kelakuannya yang aneh itu segera berakhir setelah ia mendapat pekerjaan sebagai pengapur tembok luar pekuburan, tempat istrinya dikuburkan, yang ditawarkan oleh opseter pekuburan.
Pada masa mudanya tokoh kita hidup dan terkenal sebagai seorang pelukis yang namanya termasyhur sampai ke luar negeri. Seorang bangsa asing tertarik kepada lukisannya itu, Orang tersebut membawa lukisan itu dan meninggalkan uang banyak sekali untuk tokoh kita. Tokoh kita bingung. Tokoh kita berusaha untuk menghabiskan uang itu dan berharap agar uangnya menjadi hilang. Pernah tokoh kita membuka lemarinya dengan uangnya yang bertebaran di dalamnya. Atas kesia-siaannya itu, ia diusir oleh ibu kostnya. Ia terpaksa menyewa hotel. Ia hidup dari hotel ke hotel. Ia berjudi dengan harapan agar uangnya yang banyak itu akan habis. Akan tetapi, celakanya ia terus menang. Uangnya terus bertambah saja walaupun ia telah berusaha untuk menghabiskannya. Karena kegagalannya itu, ia nekad untuk melakukan bunuh diri. Tokoh kita meloncat dari tingkat empat sebuah hotel ternama dan terjun ke atas aspal panas. Namun, sayangnya ia terjerembab persis di atas pangkuan seorang perempuan, yang kemudian menjadi istrinya. Perkawinannya meriah sekali. Karangan bunga bertebaran di hotel yang dikirim dari segala pelosok. Tamu-tamu agung datang untuk memberikan doa restu kepada kedua mempelai. Begitu banyaknya karangan bunga di hotel sehingga akhirnya bunga-bunga tersebut memenuhi jalanan umum. Jalan raya terhalang. Orang-orang mulai benci pada bunga dan akhirnya kebencian itu jatuh pada penyebab semua kemacetan itu, tokoh kita. Tokoh kita dibenci orang. Tokoh kita diusir ke laut. Keadaan tokoh kita berubah dari orang yang terkenal menjadi orang yang amat dibenci.
Atas permintaan para seniman asing, Pemerintah meminta mereka agar mereka kembali ke kota. Mereka menempati rumah dinas. Di sana tokoh kita mencetak kartu nama banyak sekali sehingga kartu nama itu dibagi-bagikan kepada semua orang. Hal itu tidak membuat istrinya senang. Tokoh kita membakar semua kartu nama itu dan mereka kembali hidup di pinggir pantai. Mereka menjadi pasangan yang berbahagia. Seorang perempuan tua tertarik dengan kebahagiaan mereka sehingga perempuan itu tiada henti-hentinya memandangi istri tokoh kita. Karena dipandang terus itu, istri tokoh kita sakit dan meninggal dunia. Tokoh kita merasa sangat kecewa, ia membuang semua alat lukisnya ke laut dan sejak itu ia dikenal sebagai seorang yang rusak syaraf.
Ketika tokoh kita menerima tawaran opseter pekuburan agar tokoh kita dapat mengapur tembok luar pekuburan itu, ia tidak terlihat aneh lagi. Ia tidak pernah tahu letak kuburan istrinya. Waktu opseter pekuburan melakukan bunuh diri dan meninggal, tokoh kita pergi ke walikota untuk menawarkan diri sebagai pengganti opseter pekuburan.
Novel ini mempunyai alur yang terpatah-patah. Alur cerita dijungkirbalikkan sehingga sukar untuk mengikuti urutan kronologis cerita. Itulah sebabnya Penerbit Djambatan menulis surat kepada Iwan agar Iwan mengubah alur ceritanya. Hal itu ditolak oleh Iwan karena jika ia mengubah alur cerita berarti ia telah menulis sebuah novel baru bukan Ziarah lagi. Di samping alurnya yang terpatah-patah, novel itu pula mengandung hal-hal yang bersifat invraisemblable, seperti bunga yang indah berubah menjadi suatu kebencian, dilihat oleh perempuan tua langsung meninggal dunia, dan perubahan sikap pelukis mencemaskan masyarakat.
Novel Ziarah telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa. Harry Aveling menerjemahkan novel itu ke dalam bahasa Inggris. Novel itu juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu (Malaysia), ke dalam bahasa Prancis, dan ke dalam bahasa Jerman.
Pernyataan H.B. Jassin, kritikus terkemuka Indonesia, sangat mendorong terbitnya novel Ziarah di Penerbit Djambatan. Jassin mengatakan bahwa amat sulit merumuskan permasalahan dalam novel Ziarah. Walaupun demikian, ia mengatakan bahwa gaya novel ini sangat modern, sederhana, dan meniadakan yang tidak perlu. Diperlukan waktu untuk dapat menghargai novel Ziarah. Novel Ziarah merupakan halaman baru pernovelan dalam kesusastraan Indonesia.
Gayus Siagian, salah seorang kritikus Indonesia, mengatakan bahwa Ziarah adalah salah satu novel yang menarik, tetapi diperlukan suatu pengetahuan psikologis untuk dapat memahaminya. Penulisnya menempatkan tokoh-tokohnya di depan sebuah kaca gila, dalam proporsi dan dimensi yang tidak biasa.
Kritikus lain yang melihat keistimewaan Ziarah itu adalah Dami N. Toda (1974) yang melihat persamaan Ziarah dengan karya-karya sastrawan Prancis yang bernama Camus sehingga ia menamakannya sebagai novel yang absurd. Umar Yunus (1986) mengatakan bahwa novel Ziarah adalah novel pembaharuan. Dengan Ziarah putuslah tradisi dengan yang lama, dan mulailah lembaran yang boleh dikatakan baru sama sekali.
Di samping para kritikus yang menyetujui dan menyanjung Ziarah, ada pula kritikus kita yang meragukan pembaharuan novel Ziarah.Sapardi Djoko Damono mempertanyakan kebesaran gagasan yang ada di dalam Ziarah. Sapardi menganggap bahwa novel itu sangat lucu. Wing Karjo juga melihat adanya unsur penjelasan pengarang yang terasa agak mengganggu para pembaca. Namun, ada persamaan yang dapat diambil dari semua pendapat kritikus itu, yaitu bahwa novel ini sulit dipahami. Untuk memahaminya diperlukan suatu kecermatan dan pengetahuan yang dalam tentang hal itu.