Warisan merupakan novel karya Chairul Harun yang menampilkan warna daerah Minangkabau pada tahun 1960-an yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya pada tahun 1979 sebagai cetakan pertama setebal 152 halaman dan diterbitkan kembali pada tahun 2002 setebal 134 halaman.
Naskah novel itu semula merupakan salah satu naskah yang diikutsertakan dalam "Sayembara Mengarang Roman" yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta. Dalam sayembara tersebut naskah novel itu tidak termasuk salah satu yang menang. Akan tetapi, novel itu dinyatakan sebagai novel yang layak terbit dan dianjurkan oleh juri agar novel tersebut diterbitkan. Pustaka Jaya menerbitkan novel itu dalam jumlah tiras yang tidak begitu besar.
Novel Warisan menceritakan kehidupan seorang pemuda, Rafilus, yang dibesarkan di Jakarta, yang pulang ke Kuraitaji, Sumatra Barat, untuk mengajak ayahnya, Bagindo Tahar, ke Jakarta untuk berobat. Akan tetapi, setelah sampai di Sumatra Barat, Rafilus terlibat dengan masalah perkawinannya, yaitu dengan Arneti yang tidak disenanginya, masalah kematian saudara sepupunya (Sidi Badaruddin) dan kematian Mak Eteknya (Siti Baniar), masalah kematian Bagindo Tahar, dan persoalan harta warisan yang sebetulnya sudah tidak ada lagi. Yang tertinggal hanya utang-utang. Rafilus harus menyelesaikan persoalan keluarga itu karena anak-anak Bagindo Tahar dan istri Bagindo Tahar yang lain menuntut bagian warisan itu. Akan tetapi, semua harta Bagindo Tahar sudah tergadai pada orang-orang desa, baik sawah dan ladang maupun piring dan gelas. Rafilus menghendaki agar semua barang-barang atau harta Bagindo Tahar itu ditebus dahulu oleh anak-anak Bagindo Tahar. Kemudian, baru harta itu dapat dibagikan. Hal itulah yang tidak mungkin dilakukan. Oleh sebab itu, tidak ada harta yang akan dibagikan. Warna daerah yang kentara tentang pembagian warisan, duduk persoalan harta, tempat pemakaman, serta adat menjemput diperbincangkan di dalam novel itu dengan amat jelas.
Tendensi novel itu adalah masalah kemerosotan aturan atau adat yang selama ini dipertahankan. Jenazah Sidi Badaruddin, jenazah Siti Baniar, dan jenazah Bagindo Tahar yang harus dimakamkan di pemakaman keluarga Piliang tidak dilakukan seperti itu. Jenazah tersebut dimakamkan di pekarangan rumah Bagindo Tahar.
Di bagian belakang novel itu ada suatu keterangan sebagai penuntun para pembaca tentang berbagai istilah. Di bagian keterangan itu diuraikan tentang kedudukan harta tinggi dan harta rendah, asal datangnya harta tinggi dan harta rendah, tentang suku Piliang dan suku Caniago, tentang warisan, tentang matrilinial yang berlaku di Minangkabau. Dengan membaca keterangan itu, seorang pembaca novel Warisan tidak akan mendapat kesulitan dalam menelusuri maknanya.
Tidak ada perubahan gaya atau bentuk penyampaian yang terjadi di dalam novel itu jika dibandingkan dengan novel-novel sebelumnya. Persoalan yang dikemukakan juga persoalan sehari-hari yang terdapat di Minangkabau dengan adat yang khas itu. Akan tetapi, pergeseran nilai terhadap keberadaan wanita Minangkabau masih dapat dirasakan walaupun secara tersamar.
Pembicaraan tentang novel Warisan ini telah banyak dilakukan orang. Di antaranya S. Amran Tasai, salah seorang pengamat sastra Indonesia modern, melakukan penelitian terhadap novel itu dengan judul "Pendekatan Struktural terhadap Novel Warisan karya Chairul Harun" (1984) Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta. Dalam bahan penelitiannya itu, S. Amran Tasai mengatakan bahwa pertama, makna "warisan" dapat berarti warisan harta yang dipersoalkan sebagai persoalan inti. Kedua, "warisan" dapat diartikan sebagai warisan darah daging. Dalam hal ini Rafilus adalah warisan darah daging Bagindo Tahar, orang yang dijadikan sebagai persoalan. Ketiga, "warisan" dapat diartikan sebagai warisan perangai. Warisan perangai ini dapat dilihat pada persamaan perangai yang sama-sama menyenangi wanita, pemberani, disiplin, dan kukuh pendirian. Keempat, "warisan" dapat pula diartikan sebagai suatu titipan seorang istri untuk Rafilus dari ayahnya Bagindo Tahar. Istri titipan itu adalah Maimunah. Jadi, makna "warisan" dalam novel Warisan itu paling sedikit ada empat buah makna.
Maman S. Mahayana, dkk. (1992) mengatakan bahwa novel Warisantampak sengaja menampilkan sisi kelbu perilaku oknum-oknum masyarakat Minangkabau yang secara sengaja atau tidak memanfaatkan system kekerabatan yang berlaku di sanajadi bagaimanapun bentuk adat istiadatnya, ia akan tetap mengahdirkan sisi negative jika manusia-manusianya sendiri dirasuki sifat tamak dan semata-mata mencari kesenangan duniawi.
Dalam tulisannya yang berjudul "Dalam Novel Warisan: Adat Minangkabau Sudah Mati?" yang dimuat dalam surat kabar Suara Karya (1985) S. Amran Tasai mengatakan bahwa novel Warisan menggoyahkan adat yang dianut selama ini, yaitu kesucian kaum wanitanya. Jika Puti Subang Bagalang dalam cerita rakyat Minangkabau terkenal dengan wanita yang setia menunggu kekasihnya pulang. Sitti Nurbaya dalam novel Sitti Nurbaya terkenal dengan kesetiaannya; Rapiah dalam Salah Asuhan terkenal dengan ketabahannya dan kesetiaannya; dan Hayati dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck terkenal dengan kerendahan hati dan kesetiaannya. Maimunah dan Farida dalam Warisan telah menghancurkan nilai-nilai kesetiaan itu.
Novel Warisan pernah mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun1979.