Dinullah Rayes, penyair religius ini, yang lahir 7 Februari 1937 di Desa Kalabeso, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa Besar, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, sering memakai nama samaran Din Rayes atau Dinurrayes dalam karya-karyanya. Ayahnya bernama Haji Lalu Muhiddin dan ibunya bernama Ringgi. Ia menikah dengan gadis sekampungnya, Siti Aisyah, tanggal 15 Oktober 1958.
Pendidikan yang ditempuhnya adalah sekolah rakyat selama 6 tahun dan lulus tahun 1950 lalu meneruskan ke Sekolah Guru Bantu (SGB) selama 4 tahun di Sumbawa Besar, dan lulus tahun 1954. Meskipun tidak menempuh pendidikan universitas, semangat belajarnya tetap tinggi. Ia memilih autodidak untuk mempelajari ilmu kebudayaan. Dinullah Rayes pernah bekerja sebagai guru sekolah dasar tahun 1956—1965 dan di Kabin Kebudayaan Kabupaten Sumbawa sampai tahun 1994. Selain sebagai pegawai negeri, Dinullah aktif dalam organisasi, antara lain pernah menjabat sebagai Kepala Museum Samawa, Kabupaten Sumbawa dan sekretaris Lembaga Adat Samawa. Di samping itu, ia tetap aktif dalam dunia tulis-menulis.
Dia mulai aktif menulis pada tahun 1956. Hingga kini Dinullah bekerja dan menetap di kota kelahirannya. Karya-karyanya berbentuk puisi, cerpen, esai, drama, dan artikel seni drama. Karya-karyanya dimuat di media massa daerah dan media massa nasional, antara lain Abadi, Pelita, Suara Karya, Sinar Harapan, Swadesi, Republika, Horison, Panji Masyarakat, Harmonis, Tifa Sastra, Seloka, Prioritas, Harapan, Suara Muhammadiyah, Suara Nusa, Sarinah, Famili, Bali Post, dan Karya Bakti. Selain itu, ia juga menulis di media massa luar negeri, yaitu dalam majalah Dewan Sastera Malaysia. Karyanya yang berbentuk puisi pertama kali dimuat pada tahun 1962 dalam ruang sastra majalah Mimbar Indonesia asuhan H.B. Jassin dan sejak saat itulah ia memakai nama samaran Dinurrayes. Dinullah lebih terkenal sebagai penyair Islam karena kebanyakan karyanya berbicara tentang ketuhanan, seperti dalam puisi "Peta Bumi Manusia".
Selain itu, kepenyairan Dinullah ditopang oleh pengalaman batin dan pengalaman kesehariannya dan merupakan ciri khas yang membedakannya dari penyair lain. Dia sering menggunakan simbol-simbol, metafora, atau perpaduan antara alam nyata dan alam maya (abstrak). Hal itu mungkin disebabkan oleh lingkungan tempat tinggalnya.
Karyanya yang telah terbit, antara lain, ialah Anak Kecil, Bunga, Rumput, dan Capung (kumpulan puisi 1979), Hari Ulang Tahun (kumpulan puisi, 1980), Beranda Cahaya (2001), Kristal-Kristal (bersama Diah Hadaning, kumpulan puisi, 1982), Nyanyian Kecil, Angin Senja, Peta Lintas Alam, Pendakian, Sosok, Spektrum, Istiqlal, Dari Negeri Poci, Buka Daun Jendela Itu, Getar Kreatif, Kebangkitan Nusantara II, Sebuah Otobiografi, dan Bulan di Pucuk Embun (2011).
Dinullah pernah mengikuti acara baca puisi di beberapa tempat, antara lain di Jakarta (Taman Ismail Marzuki), Bali, Mataram, Surabaya, Tegal, Solo, dan Depok serta memperkuat Tim Pergelaran Sastra Nusa Tenggara Barat ke Festival Baca Puisi dan Pergelaran Sastra Nasional tahun 1989 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dia juga menjadi anggota pengarang Indonesia (AKSARA), Jakarta sejak tahun 1987 dan menghadiri Pertemuan Sastrawan Nusantara di Kayu Tanam, Padang, Sumatra Barat, tahun 1997.
Beberapa penghargaan yang diterima Dinullah berkaitan dengan dunia seni-budaya, antara lain adalah Juara I Lomba deklamasi Tingkat Dewasa Se-Nusa Tenggara Barat, Penulisan Makalah Terbaik I Drama Tari dalam pekan Drama Tari dan teater Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat, dan peserta Pergelaran Sastra Tingkat Nasional tahun 1989 di Jakarta. Pada tahun 1992 Dinullah menang dalam lomba cipta Puisi Islam "IQRO" tingkat nasional.
Seorang pemerhati Dinullah Rayes, Chm., mengungkapkan rasa simpatinya melalui tulisan yang berjudul "Simbolis dan Metafor Gatra Alam; Ciri Khas Penyair Dinullah Rayes". Dia menyatakan bahwa Dinullah adalah penyair yang selalu gelisah untuk terus-menerus berkarya. Sebagai manusia, Dinullah selalu resah mencari lambang dan bentuk yang mandiri untuk menyatakan dirinya (Suara Nusa, 5 September 1981).