• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 
Emha Ainun Nadjib   (1953-...)
Kategori: Pengarang Sastra

 
 

Emha Ainun Nadjib mempunyai nama lengkap Muhammad Ainun Nadjib. Pada awal kepenyairannya, ia menuliskan namanya dalam karyanya dengan MH Ainun Nadjib. Lama-lama ejaannya diubah menjadi Emha sehingga ia lebih dikenal dengan nama Emha Ainun Nadjib. Dia dikenal sebagai penyair, dramawan, cerpenis, budayawan, mantan pelukis kaligrafi (pelukis terkenal), dan penulis lagu.

Putra keempat dari lima belas bersaudara ini lahir di Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 dari pasangan M.A. Lathief dan Halimah. Walau ayahnya, Muhammad Lathief, memimpin lembaga pendidikan yang mengelola TK sampai SMP, ia memilih masuk sekolah dasar negeri di desa tetangga karena malu belajar di rumah sendiri. Setamat SD, ia melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo yang tak pernah dirampungkannya. Emha dikeluarkan dari pesantren karena dituduh menjadi penggerak aksi santri untuk berdemonstrasi menentang para guru. Setelah dikeluarkan dari pesantren, ia terpaksa harus belajar kepada ayahnya sampai memperoleh ijazah SMP kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke SMA (jurusan Paspal) Muhammadiyah I, Yogyakarta. Setelah tamat SMA, ia kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (hanya empat bulan atau tidak tamat) karena pada pertengahan 1974 ayahnya mengalami kecelakaan lalu lintas hingga meninggal.

Dia pernah menjadi redaktur kebudayaan harian Masa Kini (sampai 1 Januari 1977) dan memimpin Teater Dinasti, Yogyakarta. Dia juga pernah menjabat Sekretaris Dewan Kesenian Yogyakarta. Ia ikut menangani Yayasan Pengembangan Masyarakat Al-Muhammady di Jombang yang bergerak di bidang pendidikan, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Di sana pula ia membentuk "Komunitas Padhang Mbulan" pada awal tahun 1995 sebagai kelompok pengajar. Dia juga berkiprah dalam Yayasan Ababil di Yogyakarta yang menyediakan tenaga advokasi pengembangan masyarakat dan penciptaan tenaga kerja.

Dia menikah dengan Neneng Suryaningsih, seorang penari yang berasal dari Lampung tahun 1978. Neneng mengenal Emha ketika sama-sama terjun di Teater Dinasti, Yogyakarta. Tahun 1979 mereka dikaruniai anak laki-laki yang dinamai Sabrang Mawa Damar Panuluh. Perkawinan mereka tidak bertahan lama dan akhirnya bercerai. Tahun 1995 Emha menikah dengan Novia Kolopaking.

Dia tertarik pada dunia penulisan, terutama puisi dan esai, sejak meninggalkan pondok pesantren Gontor dan melanjutkan pendidikannya di SMA Muhammadiyah I. Tulisannya tersebar di majalah Tempo, Basis, Horison, Tifa Sastra, Mimbar, Pandji Masjarakat, Budaja Djaja, Dewan Sastera (Malaysia), dan Zaman. Selain itu, karyanya juga tersebar di surat kabar Republika, Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Masa Kini, Berita Yudha, Haluan, Suara Karya, Suara Pembaharuan, dan Surabaya Post. Ia banyak menulis rubrik kolom di berbagai koran dan majalah yang kemudian melahirkan buku kumpulan esainya dalam soal budaya dan sosial.

Tahun 1975 ia ikut Festival Puisi 1975 di Jakarta dan diundang dalam Festival Puisi Asean 1978. Dia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984), Festival Horizonte >III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985), serta sejumlah pertemuan sastra dan kebudayaan lain. Terakhir ia aktif dalam komunitas Kiai Kanjeng yang mementaskan sejumlah dramanya di berbagai kota. Pembacaan puisi dan pementasannya pernah dicekal penguasa Orde Baru di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sebagai penyair muda, ia bergabung dengan kelompok diskusi dan studi sastra yang dipimpin Umbu Landu Paranggi, Persada Studi Klub (PSK), di bawah Mingguan Pelopor Yogyakarta. tahun 1970. Mula-mula ia menulis puisi di harian Masa Kini dan Berita Nasional serta di majalah Muhibbah (terbitan UII Yogyakarta) dan menulis cerpen di Minggu Pagi dan MIDI. Setelah beberapa puisinya dimuat dalam Basis, ia banyak menerbitkan puisinya di media massa terbitan Jakarta, seperti Horison. Karena tidak puas hanya menghasilkan sajak dan cerpen ringan, ia mulai menulis esai, kritik drama, resensi film, dan pembicaraan mengenai pameran lukisan. Dalam tulisan-tulisannya ia menggunakan nama samaran Joko Umbaran atau Kusuma Tedja.

Bukunya yang sudah terbit (1) "M" Frustasi dan Sajak-Sajak Cinta (kumpulan puisi, 1975); (2) Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (kumpulan puisi, 1978) memenangi Hadiah Sayembara Penulisan Puisi Majalah Tifa Sastra 1977; (3) Nyanyian Gelandangan (kumpulan puisi, 1982); (4) Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya (kumpulan esai, 1980); (5) 99 untuk Tuhan (kumpulan puisi, 1980); (6) Syair Lautan Jilbab (kumpulan puisi, 1989); (7) Suluk Pesisiran (kumpulan puisi, 1989, Bandung: Mizan); (8) Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan (kumpulan esai, 1985); (9) Sastra yang Membebaskan (kumpulan esai, 1984); (10) Cahaya Maha Cahaya (kumpulan puisi, 1991); (11) Yang Terhormat Nama Saya (kumpulan cerpen, 1992); (12) Slilit Sang Kiai (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1991); (13) Markesot Bertutur (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1993, Bandung: Mizan); (14) Secangkir Kopi Pahit (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1991); (15) Markesot Bertutur Lagi (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1994, Bandung: Mizan); (16) Arus Bawah (novel, 1995); (17) Sesobek Buku Harian Indonesia (kumpulan puisi, 1993); (18) Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajud Cinta Seorang Hamba (kumpulan puisi, 1990, Bandung: Mizan); (19) Secangkir Kopi Jon Parkir (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1992, Bandung: Mizan); (20) Nasionalisme Muhammad: Islam Menyongsong Masa Depan (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1995); (21) Surat kepada Kanjeng Nabi (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1996); (22) Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1994); (23) Tuhan pun "Berpuasa" (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1997), dan Demokrasi La Raiba Fih (kumpulan esai, Kompas, 2010).

Karyanya yang berbentuk cerpen, antara lain adalah (1) "Ambang" dalam Horison No. 1 Tahun 1978; (2) "Tangis" dalam Horison No. 11—12 Tahun 1978; (3) "Di Belakangku" dalam Horison No. 11 Tahun 1979; (4) "Kepala Kampung" dalam Horison No. 10 Tahun 1979; (5) "Lingkaran Dinding" dalam Horison No. 9 Tahun 1979; (6) "Mimpi Istriku" dalam Horison No. 9 Tahun 1979; (7) "BH" dalam Horison No. 6 Tahun 1980; (8) "Ijasah" dalam Horison No. 7 Tahun 1980; (9) "Jabatan" dalam Horison No. 11 Tahun 1980; (10) "Jimat" dalam Horison No. 7 Tahun 1980; (11) "Mimpi Setiap Orang" dalam Horison No. 5 Tahun 1980; (12) "Podium" dalam Horison No. 6 Tahun 1980; (13) "Seorang Gelandangan" dalam Horison No. 1 Tahun 1980; (14) "Stempel" dalam Horison No. 4 Tahun 1980; dan (15) "Luber" dalam Horison No. 10 Tahun 1981.

Selain menulis novel dan cerpen, ia juga menulis puisi dalam majalah atau surat kabar, seperti (1) "Malam" dalam Pandji Masjarakat No. 62 Tahun 1970; (2) "Pagi" dalam Pandji Masjarakat No. 62 Tahun 1970; (3) "Senja" dalam Pandji Masjarakat No. 62 Tahun 1970; (4) "Sepi" dalam Pandji Masjarakat No. 62 Tahun 1970; (5) "Suara" dalam Pandji Masjarakat No. 62 Tahun 1970; (6) "Aku telah Terlempar Kembali Jadi Manusia, Tuhanku" dalam Pandji Masjarakat No. 84 Tahun 1971; (7) "Ketika Mendengar Keagungan yang Mengalir" dalam Pandji Masjarakat No. 79 Tahun 1971; (8) "Pada Akhirnya Aku Kembalikan Diriku kepada-Mu, Tuhanku" dalam Pandji Masjarakat No. 84 Tahun 1971; (9) "Sehabis Sholat, Suatu Malam" dalam Pandji Masjarakat No. 79 Tahun 1971; (10) "Sempurnalah Rindu Diriku Malam Ini, Tuhanku" dalam Pandji Masjarakat No. 79 Tahun 1971; (11) "Seperti Mimpi-Mimpi Abstraksi" dalam Pandji Masjarakat No. 79 Tahun 1971; (12) "1 Syawal 1392 IIII" dalam Pandji Masjarakat No. 92 Tahun 1971; (13) "Di Matamu" dalam Mimbar No. 28 Tahun 1972; (14) "Tidak Sewajarnya, Hari Ini" dalam Mimbar No. 28 Tahun 1972; (15) "Bisik" dalam Basis No. 2 Tahun 1973; (16) "Lipu" dalam Basis No. 2 Tahun 1973; (17) "Malam di Pegunungan" dalam Panji Masyarakat No. 13 Tahun 1973; (18) "Memandangmu Bulan" dalam Panji Masyarakat No. 133 Tahun 1973; (19) "Mysteri" dalam Basis No. 10 Tahun 1973; (20) "Nyanyian Sebelum Pergi" dalam Panji Masyarakat No. 133 Tahun 1973; (21) "Resonansi" dalam Tribun No. 43 Tahun 1973; (22) "Sebelum Tidur" dalam Panji Masyarakat No. 133 Tahun 1973; (23) "Sia-Sia" dalam Basis No. 10 Tahun 1973; (24) "Terbit" dalam Mimbar No. 36 Tahun 1973; (25) "Di Subuh Langitkah Menggegar" dalam Tifa Sastra No. 25 Tahun 1974; dan (26) "Kubakar Cintaku" dalam Budaya Jaya No. 76 Tahun 1974.

Dramanya, antara lain, adalah (1) "Geger Wong Ngoyak Macan" (ditulis bersama Fajar Suharno dan Gadjah Abiyoso); (2) "Patung Kekasih" (ditulis bersama Simon Hate dan Fajar Suharno); (3) "Doktorandus Mul"; (4) "Ampas" (Mas Dukun); (5) "Keajaiban Lik Par"; (6) "Sidang Para Setan"; (7) "Perahu Retak"; dan (8) "Pak Kanjeng".

Beberapa kritikus mengomentari kepengarangan Emha Ainun Najib, misalnya M. Arief Hakim (1994) menyatakan bahwa saat sekarang barangkali Emha merupakan penulis paling produktif dan hampir semua bukunya diserbu pembeli, laris bagai kacang goreng. Daya pikat tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib, terutama dalam menampilkan persoalan yang aktual dan kontekstual, sangat tajam dan peka, teristimewa dalam persoalan sosial-politik dan pemiskinan kebudayaan. Kritik-kritiknya demikian tajam, terutama dalam menggugat bobroknya kekuasaan.

Kuntowijoyo (1991) menyebut Emha sebagai budayawan yang mencerminkan atau lebih dapat mewakili sensibilitas generasi muda saat itu, yaitu sensibilitas pemuda yang kritis, suka protes, tetapi religius. Di dalam karya Emha, baik puisi maupun esai, dapat ditemukan sosok seorang anak muda aktivis sosial yang sekaligus mempunyai kecenderungan mistik. Dalam kelompok studi Persada inilah ia mengembangkan kreativitasnya sebagai sastrawan. Dia menerima Anugerah Adam Malik untuk bidang sastra tahun 1991.

 
PENCARIAN TERKAIT
 
© 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
 
Emha Ainun Nadjib   (1953-...)
Kategori: Pengarang Sastra

 
 

Emha Ainun Nadjib mempunyai nama lengkap Muhammad Ainun Nadjib. Pada awal kepenyairannya, ia menuliskan namanya dalam karyanya dengan MH Ainun Nadjib. Lama-lama ejaannya diubah menjadi Emha sehingga ia lebih dikenal dengan nama Emha Ainun Nadjib. Dia dikenal sebagai penyair, dramawan, cerpenis, budayawan, mantan pelukis kaligrafi (pelukis terkenal), dan penulis lagu.

Putra keempat dari lima belas bersaudara ini lahir di Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953 dari pasangan M.A. Lathief dan Halimah. Walau ayahnya, Muhammad Lathief, memimpin lembaga pendidikan yang mengelola TK sampai SMP, ia memilih masuk sekolah dasar negeri di desa tetangga karena malu belajar di rumah sendiri. Setamat SD, ia melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo yang tak pernah dirampungkannya. Emha dikeluarkan dari pesantren karena dituduh menjadi penggerak aksi santri untuk berdemonstrasi menentang para guru. Setelah dikeluarkan dari pesantren, ia terpaksa harus belajar kepada ayahnya sampai memperoleh ijazah SMP kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke SMA (jurusan Paspal) Muhammadiyah I, Yogyakarta. Setelah tamat SMA, ia kuliah di Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (hanya empat bulan atau tidak tamat) karena pada pertengahan 1974 ayahnya mengalami kecelakaan lalu lintas hingga meninggal.

Dia pernah menjadi redaktur kebudayaan harian Masa Kini (sampai 1 Januari 1977) dan memimpin Teater Dinasti, Yogyakarta. Dia juga pernah menjabat Sekretaris Dewan Kesenian Yogyakarta. Ia ikut menangani Yayasan Pengembangan Masyarakat Al-Muhammady di Jombang yang bergerak di bidang pendidikan, sosial ekonomi, dan sosial budaya. Di sana pula ia membentuk "Komunitas Padhang Mbulan" pada awal tahun 1995 sebagai kelompok pengajar. Dia juga berkiprah dalam Yayasan Ababil di Yogyakarta yang menyediakan tenaga advokasi pengembangan masyarakat dan penciptaan tenaga kerja.

Dia menikah dengan Neneng Suryaningsih, seorang penari yang berasal dari Lampung tahun 1978. Neneng mengenal Emha ketika sama-sama terjun di Teater Dinasti, Yogyakarta. Tahun 1979 mereka dikaruniai anak laki-laki yang dinamai Sabrang Mawa Damar Panuluh. Perkawinan mereka tidak bertahan lama dan akhirnya bercerai. Tahun 1995 Emha menikah dengan Novia Kolopaking.

Dia tertarik pada dunia penulisan, terutama puisi dan esai, sejak meninggalkan pondok pesantren Gontor dan melanjutkan pendidikannya di SMA Muhammadiyah I. Tulisannya tersebar di majalah Tempo, Basis, Horison, Tifa Sastra, Mimbar, Pandji Masjarakat, Budaja Djaja, Dewan Sastera (Malaysia), dan Zaman. Selain itu, karyanya juga tersebar di surat kabar Republika, Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, Kedaulatan Rakyat, Berita Nasional, Masa Kini, Berita Yudha, Haluan, Suara Karya, Suara Pembaharuan, dan Surabaya Post. Ia banyak menulis rubrik kolom di berbagai koran dan majalah yang kemudian melahirkan buku kumpulan esainya dalam soal budaya dan sosial.

Tahun 1975 ia ikut Festival Puisi 1975 di Jakarta dan diundang dalam Festival Puisi Asean 1978. Dia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Iowa University, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984), Festival Horizonte >III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985), serta sejumlah pertemuan sastra dan kebudayaan lain. Terakhir ia aktif dalam komunitas Kiai Kanjeng yang mementaskan sejumlah dramanya di berbagai kota. Pembacaan puisi dan pementasannya pernah dicekal penguasa Orde Baru di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sebagai penyair muda, ia bergabung dengan kelompok diskusi dan studi sastra yang dipimpin Umbu Landu Paranggi, Persada Studi Klub (PSK), di bawah Mingguan Pelopor Yogyakarta. tahun 1970. Mula-mula ia menulis puisi di harian Masa Kini dan Berita Nasional serta di majalah Muhibbah (terbitan UII Yogyakarta) dan menulis cerpen di Minggu Pagi dan MIDI. Setelah beberapa puisinya dimuat dalam Basis, ia banyak menerbitkan puisinya di media massa terbitan Jakarta, seperti Horison. Karena tidak puas hanya menghasilkan sajak dan cerpen ringan, ia mulai menulis esai, kritik drama, resensi film, dan pembicaraan mengenai pameran lukisan. Dalam tulisan-tulisannya ia menggunakan nama samaran Joko Umbaran atau Kusuma Tedja.

Bukunya yang sudah terbit (1) "M" Frustasi dan Sajak-Sajak Cinta (kumpulan puisi, 1975); (2) Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (kumpulan puisi, 1978) memenangi Hadiah Sayembara Penulisan Puisi Majalah Tifa Sastra 1977; (3) Nyanyian Gelandangan (kumpulan puisi, 1982); (4) Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya (kumpulan esai, 1980); (5) 99 untuk Tuhan (kumpulan puisi, 1980); (6) Syair Lautan Jilbab (kumpulan puisi, 1989); (7) Suluk Pesisiran (kumpulan puisi, 1989, Bandung: Mizan); (8) Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan (kumpulan esai, 1985); (9) Sastra yang Membebaskan (kumpulan esai, 1984); (10) Cahaya Maha Cahaya (kumpulan puisi, 1991); (11) Yang Terhormat Nama Saya (kumpulan cerpen, 1992); (12) Slilit Sang Kiai (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1991); (13) Markesot Bertutur (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1993, Bandung: Mizan); (14) Secangkir Kopi Pahit (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1991); (15) Markesot Bertutur Lagi (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1994, Bandung: Mizan); (16) Arus Bawah (novel, 1995); (17) Sesobek Buku Harian Indonesia (kumpulan puisi, 1993); (18) Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajud Cinta Seorang Hamba (kumpulan puisi, 1990, Bandung: Mizan); (19) Secangkir Kopi Jon Parkir (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1992, Bandung: Mizan); (20) Nasionalisme Muhammad: Islam Menyongsong Masa Depan (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1995); (21) Surat kepada Kanjeng Nabi (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1996); (22) Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1994); (23) Tuhan pun "Berpuasa" (kumpulan esai sosial kemasyarakatan, 1997), dan Demokrasi La Raiba Fih (kumpulan esai, Kompas, 2010).

Karyanya yang berbentuk cerpen, antara lain adalah (1) "Ambang" dalam Horison No. 1 Tahun 1978; (2) "Tangis" dalam Horison No. 11—12 Tahun 1978; (3) "Di Belakangku" dalam Horison No. 11 Tahun 1979; (4) "Kepala Kampung" dalam Horison No. 10 Tahun 1979; (5) "Lingkaran Dinding" dalam Horison No. 9 Tahun 1979; (6) "Mimpi Istriku" dalam Horison No. 9 Tahun 1979; (7) "BH" dalam Horison No. 6 Tahun 1980; (8) "Ijasah" dalam Horison No. 7 Tahun 1980; (9) "Jabatan" dalam Horison No. 11 Tahun 1980; (10) "Jimat" dalam Horison No. 7 Tahun 1980; (11) "Mimpi Setiap Orang" dalam Horison No. 5 Tahun 1980; (12) "Podium" dalam Horison No. 6 Tahun 1980; (13) "Seorang Gelandangan" dalam Horison No. 1 Tahun 1980; (14) "Stempel" dalam Horison No. 4 Tahun 1980; dan (15) "Luber" dalam Horison No. 10 Tahun 1981.

Selain menulis novel dan cerpen, ia juga menulis puisi dalam majalah atau surat kabar, seperti (1) "Malam" dalam Pandji Masjarakat No. 62 Tahun 1970; (2) "Pagi" dalam Pandji Masjarakat No. 62 Tahun 1970; (3) "Senja" dalam Pandji Masjarakat No. 62 Tahun 1970; (4) "Sepi" dalam Pandji Masjarakat No. 62 Tahun 1970; (5) "Suara" dalam Pandji Masjarakat No. 62 Tahun 1970; (6) "Aku telah Terlempar Kembali Jadi Manusia, Tuhanku" dalam Pandji Masjarakat No. 84 Tahun 1971; (7) "Ketika Mendengar Keagungan yang Mengalir" dalam Pandji Masjarakat No. 79 Tahun 1971; (8) "Pada Akhirnya Aku Kembalikan Diriku kepada-Mu, Tuhanku" dalam Pandji Masjarakat No. 84 Tahun 1971; (9) "Sehabis Sholat, Suatu Malam" dalam Pandji Masjarakat No. 79 Tahun 1971; (10) "Sempurnalah Rindu Diriku Malam Ini, Tuhanku" dalam Pandji Masjarakat No. 79 Tahun 1971; (11) "Seperti Mimpi-Mimpi Abstraksi" dalam Pandji Masjarakat No. 79 Tahun 1971; (12) "1 Syawal 1392 IIII" dalam Pandji Masjarakat No. 92 Tahun 1971; (13) "Di Matamu" dalam Mimbar No. 28 Tahun 1972; (14) "Tidak Sewajarnya, Hari Ini" dalam Mimbar No. 28 Tahun 1972; (15) "Bisik" dalam Basis No. 2 Tahun 1973; (16) "Lipu" dalam Basis No. 2 Tahun 1973; (17) "Malam di Pegunungan" dalam Panji Masyarakat No. 13 Tahun 1973; (18) "Memandangmu Bulan" dalam Panji Masyarakat No. 133 Tahun 1973; (19) "Mysteri" dalam Basis No. 10 Tahun 1973; (20) "Nyanyian Sebelum Pergi" dalam Panji Masyarakat No. 133 Tahun 1973; (21) "Resonansi" dalam Tribun No. 43 Tahun 1973; (22) "Sebelum Tidur" dalam Panji Masyarakat No. 133 Tahun 1973; (23) "Sia-Sia" dalam Basis No. 10 Tahun 1973; (24) "Terbit" dalam Mimbar No. 36 Tahun 1973; (25) "Di Subuh Langitkah Menggegar" dalam Tifa Sastra No. 25 Tahun 1974; dan (26) "Kubakar Cintaku" dalam Budaya Jaya No. 76 Tahun 1974.

Dramanya, antara lain, adalah (1) "Geger Wong Ngoyak Macan" (ditulis bersama Fajar Suharno dan Gadjah Abiyoso); (2) "Patung Kekasih" (ditulis bersama Simon Hate dan Fajar Suharno); (3) "Doktorandus Mul"; (4) "Ampas" (Mas Dukun); (5) "Keajaiban Lik Par"; (6) "Sidang Para Setan"; (7) "Perahu Retak"; dan (8) "Pak Kanjeng".

Beberapa kritikus mengomentari kepengarangan Emha Ainun Najib, misalnya M. Arief Hakim (1994) menyatakan bahwa saat sekarang barangkali Emha merupakan penulis paling produktif dan hampir semua bukunya diserbu pembeli, laris bagai kacang goreng. Daya pikat tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib, terutama dalam menampilkan persoalan yang aktual dan kontekstual, sangat tajam dan peka, teristimewa dalam persoalan sosial-politik dan pemiskinan kebudayaan. Kritik-kritiknya demikian tajam, terutama dalam menggugat bobroknya kekuasaan.

Kuntowijoyo (1991) menyebut Emha sebagai budayawan yang mencerminkan atau lebih dapat mewakili sensibilitas generasi muda saat itu, yaitu sensibilitas pemuda yang kritis, suka protes, tetapi religius. Di dalam karya Emha, baik puisi maupun esai, dapat ditemukan sosok seorang anak muda aktivis sosial yang sekaligus mempunyai kecenderungan mistik. Dalam kelompok studi Persada inilah ia mengembangkan kreativitasnya sebagai sastrawan. Dia menerima Anugerah Adam Malik untuk bidang sastra tahun 1991.

 
PENCARIAN TERKAIT
 
 
 
© 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa