Ikranagara, dramawan, pernah menjadi pemimpin Teater (Siapa) Saja. Dia tergolong seniman yang serba bisa. Anak pertama dari sepuluh bersaudara ini dilahirkan di kota Negara, daerah Loloan, suatu perkampungan muslim di Bali Barat, 19 September 1943. Ibunya berdarah Jawa-Bali, bekerja sebagai guru sekolah rakyat pada zaman revolusi, dan ayahnya berdarah Makassar-Madura, bekerja sebagai pedagang kelontong. Dia belajar membaca dan tafsir Alquran, tajwid, serta buku kuning pada seorang kiai di salah satu pesantren di Loloan.
Tahun 1969, ketika masih menjadi "seniman gembel" di TIM, ia bertemu dengan seorang gadis dari California bertitel M.A., Kay Glassburner, yang sedang mengadakan penelitian sosiolingustik tentang dialek Betawi. Tahun 1970 mereka menikah dan dari pernikahan itu mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki, Inosanto (lahir 1970) dan Bino (lahir 1980). Di lingkungan keluarga, mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari.
Ketika bersekolah di SR, ia mempunyai kawan yang ayahnya seorang dalang. Dari ayah temannya itulah ia banyak mengenal istilah pewayangan, profesi dalang, dan berbagai cerita, seperti Ramayana dan Mahabarata. Karena ikut ayah temannya mendalang, ia sering bolos mengaji. Setamat SR, ia melanjutkan pendidikannya ke SMP lalu ke SMA-B di Singaraja.
Ikranagara merasa beruntung karena ketika masih kecil, ibunya aktif membelikan buku-buku, novel, dan berlangganan buku terbitan Balai Pustaka. Waktu itu di kota kecil, tempat kelahirannya, jarang orang membaca buku seperti yang dilakukan keluarganya. Ketika ia bersekolah di SMA, kepala sekolahnya juga selalu meminjamkan bukunya karena tahu bahwa Ikra sangat tergila-gila pada buku.
Masa remajanya di Bali dihabiskan untuk berteater. Berbagai pementasan drama dilakukannya bersama Putu Wijaya, teman satu sekolahnya. Karena ingin menjadi dokter, Ikranegara pindah ke Banyuwangi. Waktu belajarnya dihabiskan untuk berlatih dan bermain teater serta bertindak sebagai sutradara, sehingga ia tidak naik ke kelas III SMA. Karena malu, ia pindah ke Banyuwangi. Di Banyuwangi kegiatan keseniannya makin menjadi-jadi. Dia tinggal (kos) bersama Armaya dan masuk HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam), tokohnya Hasnan Singodimayan. Lewat Hasnan dan Aramaya Ikranegara mengenal dunia kesenian secara luas.
Setelah tamat SMA, ia melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada (UGM), menyusul Putu Wijaya yang telah lebih dahulu menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di sana. Baru setahun mengikuti kuliah di fakultas itu, ia pindah ke Fakultas Kedokteran. Tahun 1966, setelah terjadinya peristiwa G-30-S/PKI yang berkaitan dengan terjadinya pergolakan mahasiwa, suasana berkesenian benar-benar lumpuh. Dia ikut berdemonstrasi, bahkan ia dipercaya sebagai penghubung Yogyakarta-Jakarta. Ketika suasana bertambah gawat, ia kembali ke Bali. Karena kesepian dan kuliahnya berantakan, ia pindah ke Jakarta.
Di Jakarta ia masuk Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, dengan maksud agar memperoleh pengetahuan untuk kesenian. Namun, di fakultas tersebut ia juga merasa jenuh dan kuliahnya tidak pernah selesai.
Tahun 1973 ia berangkat ke Hawaii mendampingi istrinya yang akan menyelesaikan program Ph.D.-nya. Mereka tinggal bersama mertuanya, tetapi Ikra berkeliling ke sana kemari. Kesempatan itu dipergunakannya untuk memperdalam pengetahuannya di East West Centre, Universitas Hawaii. Setelah istrinya meraih gelar Ph.D., tahun 1975, mereka kembali ke Indonesia.
Setelah beberapa tahun bergabung bersama Teater Kecil, pimpinan Arifin C. Noer, tahun 1974 ia mendirikan sebuah grup teater yang bernama Teater (Siapa) Saja. Tahun 1979 ia bertugas sebagai dosen tamu di Universitas California di Davis, Universitas Ohio, dan Universitas Michigan. Pada saat yang sama ia juga menjadi seniman tamu di Theatre Compesino (Los Angeles), Snake Theatre (San Fransisco), dan di Gafres Tire (Minneacles).
Ikranagara sempat bermain film, antara lain dalam "Pagar Kawat Berduri" (1961), "Bernafas dalam Lumpur" (1970), "Cinta Biru"(1977), "Si Doel Anak Modern" (1976), "Dr. Siti Pertiwi" (1979), "Untukmu Indonesiaku"(1980), "Djakarta 66"(1982), "Keluarga Markum" (1986), "Kejarlah Daku Kau Kutangkap"(1985), dan "Bintang Kejora"(1986). Selain itu, ia juga pernah menjadi wartawan dan redaktur harian Indonesia Raja (1967—1968) dan Berita Buana.
Selain menjadi aktor teater dan membuat naskahnya, ia juga memiliki kemampuan berkesenian lain, yaitu seni lukis yang dikenalnya lebih dahulu dibandingkan dengan seni teater. Ketika bersekolah di SR, ia suka sekali melukis potret. Naskah dramanya yang terbit Topeng(1972), Saat-Saat Drum Band Mengerang-erang (1973), Angkat Puisi (1979), Tirai (1984). Naskah dramanya yang lain (1) "Agung", (2) "Para Narator", (3) "Rang Gni", (4) "Priiiit", (5) "Burrrr", (6) "Sssst" (Trilogi "Cupak"), (7) "Rimba Tiwikrama", (8) "Ancemon", (9) "Ritus Buka", (10) "Mumpungisme", (11) "Haha-Haha", (12) "Ritus Tutup", (13) "SOB", (14) "Dor Dor! Dor!", dan (15) "Wayang Rimba". Selanjutnya, drama "Ancemon", "Mumpungisme". "Haha-Haha" adalah monolog yang sumbernya ddiambil dari berita surat kabar tentang berbagai peristiwa, antara lain tentang Kartika Ratna dan Kusni Kasdut yang disajikan secara imajinatif. Drama Topeng dan Saat-Saat Drum Band Mengerang-erang masing-masing meraih Hadiah Harapan Sayembara Penulisan Naskah Dewan Kesenian Jakarta tahun 1972 dan 1973.
Ikranegara juga menulis banyak puisi yang dimuat di beberapa media dan majalah, antara lain koran Berita Buana dan Republika, dan juga di majalah Horison. Puisi Ikranagara "Kelelawar Terbang Menyilang Bulan Pucat" adalah puisi yang penuh dengan gejolak kehidupan. Kesederhanaan, kebodohan, dan keawaman penduduk desa yang diselimuti oleh rasa takut terhimpun dalam suatu untaian kata yang puitis, yang memiliki vitalitas yang gigih, bagaikan seekor elang yang menyambar kian kemari seperti fajar merah (Edijushanan dalam artikelnya berjudul "Sebuah Sajak Ikranagara" Berita Buana 5 Juni 1979). Penyair yang peka akan kehidupan sekitarnya memulai puisinya dengan sederhana dan manis, tetapi kemudian menukik dan menerjang dengan penuh kepekaan yang menarik dan memikat.
Di samping menulis naskah drama dan puisi, Ikranagara juga menulis cerita pendek dan artikel di berbagai surat kabar dan majalah, antara lain dalam Minggu Pagi, Indonesia Raya, dan Kedaulatan Rakyat serta di majalah Trio dan Horison. Di antara cerita pendeknya ialah (1) "Titik-Titik yang Dikodratkan" dimuat dalam Horison No. 7 Tahun 1978, (2) "Di Bawah Langit-Langit" dalam Sastra No. 5 Tahun 1969, (3) "Gung di-as" dalam Horison No. 8 Tahun 1970, dan (4) "Ha-Ha" dalam Zaman No. 3 Tahun 1981. Ide-ide cemerlang kadang muncul dari Ikranegara. Ide yang terakhir ia mengusulkan agar Bupati Jembrana saat ini, I Gede Winasa menjadi calon presiden RI tahun 2009.