Idrus nama lengkap Abdullah Idrus. Jika Chairil Anwar ditasbihkan sebagai pelopor Angkatan '45 untuk puisi, Idrus oleh H.B. Jassin ditasbihkan sebagai pelopor prosa Indonesia Angkatan '45 walaupun ia menolaknya. Oleh H.B. Jassin sastrawan ini dianggap sebagai pembaharu di bidang prosa sebab menampilkan bentuk yang sederhana, realistis, bahkan naturalis dengan sindiran yang cukup tajam. Idrus meninggalkan kesan yang besar karena untuk pertama kali dengan jelas sekali memperlihatkan pemisahan antara prosa zaman revolusi dan prosa Pujangga Baru (Teeuw, 1978: 217), meskipun peranan Idrus tidaklah sepenting Chairil Anwar dalam Angkatan '45.
Idrus lahir tanggal 21 September 1921 di Padang, Sumatra Barat dan meninggal tanggal 18 Mei 1979 di Padang meninggalkan seorang istri dan enam orang anak, dapat dianggap sebagai tokoh yang kontroversial. Dalam salah satu novel pendeknya "Surabaya" (1947), pengarang ini mengejek patriot-patriot Indonesia sebagai cowboy-cowboy dan bandit. Novel pendek ini cukup terkenal sehingga mendapat dampratan dari sana sini (S. Kendro, 1954). Selain berbentuk cerpen, karyanya yang lain berbentuk novel, seperti Aki (1950), Dengan Mata Terbuka (1961, Kuala Lumpur), dan Hati Nurani Manusia (Kuala Lumpur, 1963 & Pustaka Jaya, 1976). Novelnya yang terakhir berjudul Hikayat Puteri Penelope (1973), Perempuan dan Kebangsaan (Kuala Lumpur, 1963)
Kumpulan cerpennya berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948). Dalam kumpulan cerpen ini dimuat cerpennya yang pertama "Corat-Coret di Bawah Tanah". Selain itu, ia juga menulis naskah sandiwara, yaitu "Keluarga Surono: drama 4 babak" (1948); "Djibaku Aceh" (1945) sebuah sandiwara radio; "Drama Ave Maria"; "Kejahatan Membalas Dendam"; dan "Dr. Bisma". Idrus juga menerjemahkan sandiwara "Acoka" (1948) karya G. Gonggrijp dan menerjemahkan buku karangan penulis dunia terkemuka, seperti pengarang Belgia Willem Elsschot dengan judul Keju, Kathryn Fobers Ibu yang Ku Kenang (1963); Kereta Api Baja (1969) karya pengarang Rusia Vsevolod Iwanov; Toti Kita Sehari-hari dan Dari Pendiptaan Kedua karya Ilya Enrenburg. Idrus juga menerbitkan buku Teknik Mengarang Cerpen dan saduran cerita Sang Boma. Dia juga menulis esai di beberapa majalah dan surat kabar, antara lain dalam majalah Indonesia, Zenith, Chatulistiwa, Mimbar Indonesia, Budaya, Horison, dan Indonesia Raya. Sastrawan ini juga aktif mengisi acara budaya di RRI Pusat setiap minggu dengan pembacaan cerpen, resensi sastra, dan esai. Buku-bukunya merupakan bacaan wajib bagi siswa SLTP/SLTA pada masa itu. Pada masa revolusi ia mendirikan surat kabar mahasiswa yang pertama harian Berita Indonesia. Sesudah revolusi, ia menjadi sekretaris Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).
Idrus mulai mengarang ketika bekerja di Balai Pustaka setelah berkenalan dengan H.B. Jassin, Nur Sutan Iskandar, dan St. Takdir Alisjahbana. Pendidikan yang pernah ditempuhnya HIS, MULO, dan AMS-SMT tamat tahun 1943. Setelah menamatkan AMS, ia bekerja di Balai Pustaka di bagian sidang Pengarang. Dia juga menjadi redaktur majalah kebudayaan Indonesia, Daya, Gema Suasana. Idrus juga pernah menjadi redaktur majalah Kisah pada tahun 1956 bersama M. Balfas dan HB Jassin. Pada masa pendudukan Jepang, Idrus bekerja di Poesat Oesaha Sandiwara Djawa (POSD) di bawah pimpinan Dinas Propaganda Jepang. Setelah revolusi meletus, ia kembali ke Balai Pustaka sampai aksi militer pertama. Selain bekerja di Balai Pustaka, Idrus juga pernah bekerja di Garuda Indonesian Airways dan perusahaan perkapalan Belanda (sekarang PELNI). Dia juga pernah menjadi direktur penerbit Tintamas, Jakarta sampai tahun 1956. Pada tahun itu ia juga menjadi redaktur majalah Kisah bersama M. Balfas dan H.B. Jassin. Di juga pernah bekerja pada penerbit Indira dan bagian propaganda unilever. Idrus juga pernah menjadi pengasuh majalah Gema Dunia dan Jenaka (L dalam "Pelacur tak tahu malu ternyata bernama Idrus" dalam Bintang Timur 81/III, Minggu, 29 Maret 1964).
Sastrawan ini oleh Jassin dinilai sebagai orang yang memiliki sifat individualistis dan mempunyai sikap kritis dalam masalah sosial waktu itu, baik lewat tulisannya maupun lewat siarannya, sehingga pernah dua kali ia tidak boleh siaran karena salah satu cerpen yang dibacakannya menyatakan "kalau ingin kaya, jadilah polisi lalu lintas" dan pada tahun 1953 pernah menyinggung kumis Mr. Rum dalam ceritanya "Susu"nya.
Pada tahun 1964 Idrus pindah ke Malaysia dan berada di sana selama 6 bulan, bekerja di sebuah stasiun radio. Di Jerman ia tinggal 2 bulan dan sejak tahun 1965 menetap di Australia untuk mengajarkan bahasa dan sastra di Monash sampai akhir hayatnya. Di Australia ia mengikuti kuliah hingga mencapai gelar MA pada tahun 1974 di Universitas Monash, skripsi sarjana muda dan sarjananya adalah mengenai Chairil Anwar. Untuk tingkat sarjana muda ia menulis "Understanding the Poetry of Chairil Anwar" sedangkan untuk M.A. nya ia menulis "The Content of Chairil Anwar's Poetry". (Abdul Hadi W.M. dalam "In Memordiam Idrus" Berita Buana, Selasa, 5 Juni 1979). Saat meninggal, sebenarnya ia sedang mengumpulkan bahan untuk disertasinya tentang cerita rakyat di Minangkabau.