Kirdjomuljo tergolong penulis drama dan penyair yang sederhana, jujur, rendah hati, dan terbuka. Dia lahir di Yogyakarta, 1 Januari 1930 dan meninggal 19 Januari 2000 di kota yang sama. Ayahnya pembuat gamelan. Dia menempuh dunia pendidikan hingga tingkat akademi, yaitu Akademi Seni Drama dan Film di Yogyakarta.
Penyair yang menganut paham "kejawen" ini bersikap sama terhadap semua agama di Indonesia. Dia bisa ke gereja dan bisa ke masjid. Kirdjomuljo selalu mengingatkan anak-anaknya untuk berhenti bermain gitar jika ada suara azan. Kirdjomuljo mulai berkecimpung dalam dunia sastra sebagai seorang penyair. Setelah beberapa lama, ia muncul sebagai pengarang drama. Selanjutnya, ia lebih dikenal sebagai pengarang drama. Karyanya yang dimuat di beberapa majalah tidak pernah diperhitungkan mutunya. Dia berkarya hanya untuk mencari uang. Hal itu tersirat dari keterangannya ketika berwawancara dengan wartawan Wawasan, Kamis, 15 September 1994. Dikatakannya bahwa ia menulis karena terpaksa supaya mendapatkan uang untuk jalan-jalan. Sajaknya sebagian besar ditulis ketika dalam pengembaraan yang kemudian dimuat dalam majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Budaya, dan Seni. Kumpulan sajaknya yang sudah dibukukan, antara lain, adalah Romance Perdjalanan Jilid I diterbitkan oleh Kantor Pemesanan Buku dan Majalah, Yogyakarta, tahun 1955. Menjelang tahun 2000, Pustaka Jaya menerbitkan Romansa Perjalanan Kirdjomuljo, yang merupakan gabungan dari Romance Perjalanan Jilid I (yang telah terbit pada tahun 1955) dan "Romance Perjalanan Jilid II" yang selama puluhan tahun tetap saja berupa naskah meskipun telah direkomendasikan oleh HB Jassin untuk diterbitkan. Buku kumpulan sajaknya yang kedua berjudul Dari Lembah Pualam terbit tahun 1967. Drama Nona Marjam, 1955, pernah dimainkan oleh mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Naskah drama tersebut sudah diterbitkan oleh Musyawarat Kesusasteraan bersama dengan naskah drama Orang-Orang di Tikungan Djalan karya W.S. Rendra.
Penyair yang sangat terkenal pada tahun 1950-an ini bertempat tinggal di Suryatmadjan Dn I/43 Yogyakarta. Pada masa itu ia bekerja sebagai Dewan Redaksi Majalah Budaja terbitan Jawatan Kebudayaan Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
Selain "Nona Marjam" naskah drama yang ditulis oleh Kirdjomuljo antara lain (1) "Bui" (1 babak), (2) "Beliau Amat Kesunjian" (komedi 2 babak), (3) "Tudjuh Orang Tahanan" (komedi 2 babak), (4) "Penggali Kapur" (1 babak), (5) "Laki-Laki Djaga Malam" (1 babak), (6) "Sendja dengan Dua Kelelawar" (2 babak), (7) "Djauh di Rantau (2 babak), (8) "Bulan Pagi" (1 babak), (9) "Maria" (1 babak), (10) "Derai Tjemara" (2 babak), (11) "Keluarga Wijasti" (2 babak), (12) "Tanah Gersang" (1 babak), (13) "Anak Haram" (1 babak), (14) "Jessi" (2 babak), (15) "Sebab jang Dibawa Mati" (1 babak), (16) "Inah dan Manusia Sekitarnja" (1 babak), (17) "Lahirnja Kedjahatan" (3 babak), (18) "Matahari Juni" (3 babak), (19) "Dusta jang Manis" (2 babak), (20) "Pengawal Berlengan Besi" (komedi bersajak), (21) "Sisa-Sisa Revolusi" (1 babak bersajak), (22) "Matahari April" (2 babak), (23) "Setetes Darah" (3 babak), dan (24) "Pasukan Tjakra" (4 babak).
Selain menulis naskah drama, Kirdjomuljo juga menulis novel, antara lain Di Saat Rambutnya Terurai. Novel tersebut terbit pada tahun 1968. Kirdjomuljo juga beberapa kali menulis skenario film. Salah seorang sastrawan yang mengagumi Kirdjomuljo adalah Rendra yang menulis sebuah sajak khusus untuk Kirdjomuljo yang berjudul "Lelaki Sendirian".
Sajak itu melukiskan seorang sahabat, Kirdjomuljo, yang dikaguminya karena keunikan karakternya. Kirdjomuljo yang penuh misteri laksana samudera gaib yang diselimuti kabut tanda tanya (Wawasan, 15 September 1994).
Kirdjomuljo juga terkenal sebagai seniman yang hidupnya kurang jelas dan sering disebut manusia yang "berumah di angin". Dia gemar mengembara. Sejak tahun 1973, ia mulai asyik memburu sastra sandi. Dia melacak berbagai prasasti kuno dan mencoba menguak misteri sejarah melalui berbagai pertanda yang ditemukan di makam-makam kuno ataupun bangunan-bangunan kuno. Kesibukan ini membuat Kirdjomuljo hampir tak punya lagi perhatian terhadap kesenian, puisi, sastra, atau teater. SH Mintardja, pengarang cerita silat beberapa kali meminta bahan darinya untuk cerita silatnya.
Kirdjomuljo juga tokoh pendiri teater Sanggar Bambu yang tetap berjaya hingga tahun 1990-an. Pada tahun 1954 Kirdjomuljo mendirikan Teater Indonesia bersama Kusno Sudjarwadi. Teater Indonesia yang didirikannya itu merupakan cikal bakal teater modern di Yogyakarta. Salah satu naskah drama Kirdjomuljo yang terkadang dipentaskan hingga kini adalah Penggali Intan dan Penggali Kapur. H.B. Jassin menyebut Kirdjomuljo sebagai penyair alam. Kekuatan sajaknya terletak pada bakat alamnya itu.