Julius R. Sijaranamual adalah pengarang yang lahir di Sumba, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 21 September 1944. Dalam Biodata Sastrawan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin Jakarta, namanya tertulis Julius R. Sijaranamual, tetapi dalam beberapa publikasi sering ditulis Siyaranamual. Dia tamat sekolah rakyat (SR) tahun 1956 dan melanjutkan ke SMP bagian A, tamat tahun 1959. Setelah itu ia masuk ke SMA bagian C dan tamat tahun 1962. Tahun 1962/1963 ia bekerja pada publikasi/penerangan Gabungan Koperasi Hewan Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kupang. Pekerjaan itu ditinggalkannya, lalu ia berangkat ke Jakarta untuk belajar di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, Jurusan Christian Education, tetapi tidak tamat. Di Jakarta dia aktif dalam organisasi Lekkrindo, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), menjadi pengurus pusat Persatuan Pelajar Kristen Indonesia sampai tahun 1966, tetapi tidak masuk partai. Dia pernah beralamat di Jalan Talang Nomor 16 (asrama) dan di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 27 (kampus).
Dia mulai mengarang cerpen pada awal 1966 yang dimuat di majalah Horison, Sastra, Ragi Buana dan beberapa surat kabar, terutama Sinar Harapan. Tahun 1967 ia mulai menulis novel. Salah satu novelnya (novel pendek 32 halaman) berjudul Tuhan Djatuh Hati diterbitkan oleh Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia Jakarta tahun 1971 dengan gambar sampul oleh Toha Mohtar. Novelet itu merupakan gabungan beberapa cerpennya yang bernuansa religius Nasrani, dengan tokoh utama yang memiliki sifat jahat, tetapi akhirnya menjadi pendeta.
Julius juga menulis banyak cerita anak yang dimuat di majalah anak-anak Si Kuntjung. Buku cerita anak yang sudah diterbitkan, antara lain adalah Anak-Anak Laut (1971, Jakarta: Pustaka Jaya), dan Menyusuri Kali Dendeng (1981, Jakarta: Sinar Harapan). Bersama teman-temannya ia mendirikan majalah remaja Kawanku.
Waktu masih belajar di bangku sekolah rakyat, ia rajin membaca di perpustakaan masyarakat dekat sekolahnya. Sifat gemar membaca itu mungkin merupakan pengaruh dari ayahnya yang dilihatnya sering membaca. Lewat membaca ia merasa memasuki dunia yang mengasyikkan dan tanpa disadarinya, ia memetik pelajaran tentang berbagai hal dari bacaan itu, seperti situasi, watak, dan sebagainya. Seperempat abad kemudian, ia masih mengingat dengan baik alur, tokoh-tokoh, adegan-adegan tertentu, atau suasana dalam cerita yang dibacanya. Meskipun demikian, ia sudah tidak mengingat sejak kapan persisnya mulai menulis, kecuali ketika di SMP, ia pernah mengikuti sayembara menulis puisi.
Waktu bersekolah di SMA Syuradikara Ende, satu-satunya SMA di Flores, ia berkeinginan menjadi pelukis, tetapi tidak kesampaian karena ia kembali ke Kupang dan bekerja di Gabungan Koperasi Hewan. Waktu luangnya digunakan dengan kegiatan sastra dengan bergabung dalam grup "Konfrontasi" yang dipimpin pamannya, Andreas Bili Ndaparoka, yang menyiarkan sajak-sajaknya lewat RRI Kupang. Setelah ia memasuki Sekolah Tinggi Theologia, Jakarta, kebiasaannya menulis tetap berlanjut, terutama di bawah bimbingan D.A. Peransi yang waktu itu mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di perguruan tinggi tersebut, bahkan dibantu oleh Th. Sumartana dan C. Horo Rambadeta. Cerpen-cerpennya dimuat di ruang remaja Sinar Harapan.
Menurutnya, puisi lebih bisa dinikmati oleh penulisnya, sedangkan cerpen lebih menawarkan sesuatu yang lebih cocok baginya. Unsur kedaerahan dan keagamaan merupakan dua hal yang sering muncul dalam ceritanya. Unsur kedaerahan yang digambarkannya berupa alam Timor dengan padang ilalang yang luas menawan, bukit-bukit karang berkapur yang hanya ditumbuhi jenis tetumbuhan tertentu karena kekeringan dan kegersangannya, dengan penduduk yang berwatak khas yang lebih menghargai keberanian dengan kepercayaan pada leu-lu atau ilmu gaib yang sangat kuat.
Sejak tahun 1973 Julius menulis cerpen sampai akhirnya terhenti begitu saja bersamaan dengan terhentinya hubungan dengan seorang gadis yang sering memberinya inspirasi. Namun, ceritanya berlanjut dengan mengembangkan cerita-cerita asli yang ada mengikuti kemungkinan kelanjutan kehidupan si gadis itu menurut imajinya sendiri. Cerpen-cerpen itu kemudian dikemas lagi dalam satu cerita yang utuh. Hal itu dilakukan karena dorongan dari Parakitri Tahi Simbolon dan J.B. Kristanto, redaktur Kebudayaan Kompas.
Selanjutnya, dia menulis cerita anak-anak. Berdasarkan karyanya, Julius memperoleh hadiah Zakse Prize untuk esai (1970) dan dari Horison untuk cerpen tahun 1968. Dia pernah menjadi redaktur ruang remaja Sinar Harapan (1970—1973).
Menurut H.B. Jassin (1971) kesan pertamanya bertemu dengan Julius tidak seperti yang dibayangkan melalui gaya tulisannya. Dia memiliki bentuk keunikan tersendiri dalam menulis; sebagai suatu pribadi dalam suatu momen tertentu yang mencapai tujuannya dengan kesendiriannya. Ada keterlibatan motif yang tidak penuh, yang sepintas dapat dikesani dari gerak hidupnya sebagai pengarang muda yang berpotensi dan kreatif ketika tanpa sadar kita mencoba menduga-duga latar belakang yang terkandung dibalik keleluasaan sikapnya sebagai pribadi. Pengungkapan cerpen Julius sering lebih menarik daripada isi ceritanya.
Korrie Layun Rampan (Suara Karya: Jumat, 22 Agustus 1980) menulis tentang Julius dan 15 karyanya, antara lain tentang cerpen "Tuan Sekian", "Ancaman-Ancaman", dan "Tuhan Jatuh Hati" yang khas dengan geografis Nusa Tenggara Timur, "Titik Api" (cerita empat bagian berbentuk sketsa), "Gerbang Hijau Daun" yang merupakan kisah nyata pengalaman Julius ketika belajar di Sekolah Tinggi Theologia di Jakarta, "Manifestan", "Entah Bagaimanakah Entah Siapa", dan "2 x 2 = 4: Matematika Rendah untuk Menentukan Letak T" (menyajikan tiga cerita yang tidak saling berkaitan). Dalam harian Berita Buana (Selasa, 1 September 1981) Korrie menulis tentang novel Tuhan Jatuh Hati. Gaya kepenulisan Julius sangat spesifik, padat, unik, ekonomis dengan kata-kata dan susunan ceritanya mirip puisi. Semua elemen kata dan kalimat diperhitungkan dengan matang sehingga sangat mengagumkan. Beberapa cerpennya terasa sangat berfilsafat, sedangkan yang lainnya terasa sketsais. Bahkan ada yang berbentuk dongeng dan sangat menarik untuk diteliti. Tampaknya Julius masih terus bereksperimen dan mencari daerah baru dan pengalaman baru yang cocok dinyatakan dalam bentuk prosa untuk pengungkapan jiwanya. Walaupun cerpen-cerpennya inkonvensional, temanya tetap jelas. Kebanyakan ceritanya dirampungkan dengan kematian, seperti dalam cerpen "Malam Kemarau" dan "Bulan Mati", keduanya menyajikan suasana aneh dan misterius. Cerpen "Catatan Kecil tentang Kematian dan Menjadi Orang Besar", "Perjalanan", "Larut Malam" dan "4 Gelandangan" menyajikan pembauran alam nyata dan khayal yang menekankan unsur psikologi.