Iwan Simatupang, sastrawan tahun 1960-an, menulis karya-karya yang bersifat inkonvensional dan karena itu dianggap pembawa angin baru dalam kesusastraan Indonesia. Iwan Simatupang lahir di Sibolga, Sumatra Utara, tanggal 18 Januari 1928 dengan nama Iwan Martua Dongan Simatupang. Dia dianggap sebagai anak yang cerdas. Dia dibesarkan dalam keluarga Islam. Ayahnya seorang haji yang mengajari Iwan membaca Alquran.
Sebagian masa kecil Iwan dilaluinya di Aceh, daerah yang dikenal sebagai "Serambi Mekah". Kemudian, pada masa remajanya ia tinggal di Sibolga, tempat kelahirannya, yaitu pusat agama Protestan di Sumatra Utara.
Iwan belajar mengaji Alquran dari orang tuanya. Kemudian, ia melanjutkan pelajarannya ke sekolah lanjutan di Padang Sidempuan. Tahun 1948 Iwan berhenti dari sekolah dan masuk pasukan yang ikut berperang melawan Belanda. Dia menjadi komandan pasukan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) dan memimpin organisasi Pemuda Indonesia di Sumatra Utara. Tahun 1949 ia ditangkap dan tidak berapa lama kemudian dibebaskan di Medan. Kesempatan setelah bebas dimanfaatkannya untuk menyelesaikan studinya di HBS bagian B sebagai extraneus. Setelah tamat dari HBS, ia melanjutkan pelajarannya ke Fakultas Kedokteran di Surabaya tahun 1953. Di samping berkuliah di Fakultas Kedokteran, Iwan juga mempelajari berbagai ilmu, seperti filsafat, antropologi, sastra, dan agama. Di dalam memasalahkan agama, Iwan selalu terlibat dalam perdebatan sengit dengan teman-temannya.
Iwan tidak dapat menyelesaikan studinya di Fakultas Kedokteran karena tidak tahan melihat darah dan memotong-motong mayat. Kemudian, ia pindah ke Jakarta dan di Jakarta inilah ia mulai banyak membaca masalah-masalah kebudayaan. Akhirnya, ia aktif menulis, antara lain, di Mimbar Indonesia dan Siasat.
Tahun 1954 Iwan Simatupang memperoleh beasiswa ke Eropa untuk memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan. Iwan memperdalam antropologi di Leiden (1956), memperdalam drama di Amsterdam (1957), dan memperdalam filsafat di Paris (1958).
Bulan November 1955, Iwan berkenalan dengan Corinne Imalda de Gaine (Corry) dan tanggal 2 Desember 1955 mereka menikah di Amsterdam. Iwan Simatupang akhirnya memilih agama Katolik sebagai agamanya sampai akhir hayatnya. Dari perkawinan itu mereka memperoleh dua orang anak, yaitu Ino Alda dan Ion Partibi.
Setelah menyelesaikan studinya di Paris, akhir tahun 1958 Iwan Simatupang bersama istri dan anak-anaknya kembali ke Indonesia. Tahun 1960 Corry meninggal dunia karena menderita penyakit tipus. Kematian Corry itu sangat memukul jiwanya. Kenangan atas kematian istrinya mendorong Iwan menulis novel Ziarah tahun 1960 yang baru terbit 9 tahun kemudian. Tahun 1961 Iwan menulis naskah novel Merahnya Merah dan baru diterbitkan tahun 1968 oleh Penerbit Djambatan. Tanggal 10 Juni 1961 Iwan menikah lagi dengan Dra. Tanneke Burki. Dia memperoleh seorang anak perempuan, Violeta. Akan tetapi, umur perkawinan itu tidak panjang. Mereka bercerai tahun 1964.
Selain bekerja sebagai dosen pada beberapa perguruan tinggi, ia juga bekerja pada sebuah perusahaan mobil dan sebagai wartawan. Tempat tinggalnya tidak tetap. Dengan dua orang anaknya, ia pernah menyewa satu kamar Hotel Salak di Bogor. Pada waktu itu ia sering diundang untuk berceramah di berbagai forum. Karena kegiatan fisiknya terlalu banyak, Iwan menderita penyakit lever. Iwan meninggal dunia tanggal 4 Agustus 1970 di Jakarta.
Selama hidupnya ia menulis empat novel, yaitu (1) Merahnya Merah (1968), (2) Ziarah (1969), (3) Kering (1969), dan (4) Koong (1975). Dia pernah mendapat penghargaan Hadiah Sastra Asia (SEA Write Award) dari Thailand atas karya novelnya Ziarah pada tahun 1977. Novelnya Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970 dan novelnya Kooong (1975; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, 1975). Dua novelnya Ziarah (The Pilgrim, 1975) dan Kering (Drought,1978) diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Tegak Lurus dengan Langit (1982), sedangkan puisi-puisinya dalam Ziarah Malam (1993).
A. Teeuw menyatakan bahwa barangkali ialah pengarang Indonesia yang waktu itu mendapat sorotan paling banyak, baik oleh pengamat sastra di dalam negeri maupun di luar negeri. H.B. Jassin menyatakan bahwa Iwan Simatupang sanggup melukiskan dengan jernih jalan pikiran tokoh-tokohnya dan hakikat masalah mereka tanpa selubung-selubung kerahasian.
Ketika meresensi novel Ziarah Iwan Simatupang, H.B. Jassin menyatakan perkembangan ketika menyambut pembaharuan dalam sajak Chairil Anwar dan menyambut kehadiran novel baru Ziarah Iwan Simatupang dengan menyebutkan bahwa keduanya memerlukan waktu untuk dipahami. Yassin menyambut novel Iwan sebagai cerita yang baru sama sekali dalam bahasa, dalam pengungkapan, dalam mendekati hidup dan permasalahan, merupakan halaman baru dalam kesusastraan Indonesia.