• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 
Kriapur   (1959-1987)
Kategori: Pengarang Sastra

 
 

Kriapur, penyair yang sangat produktif. Nama Kriapur adalah akronim dari Kristianto Agus Purnomo. Semula ia memperkenalkan diri dengan nama samaran Kriapur Putra Mega. Akan tetapi, karena dirasakannya nama itu masih terlalu panjang, ia menyingkatnya menjadi "Kriapur". Dia lahir di Solo pada tahun 1959. Lewat sajak-sajaknya Kriapur dikenal sebagai "penyair imajis". Namun, sangat disayangkan oleh semua kalangan, terutama para sastrawan, pada saat kepenyairannya sedang menanjak, ia dipanggil Tuhan, karena kecelakaan lalu lintas dalam perjalanan pulang ke Solo pada Selasa Kliwon 17 Februari 1987 di Batang, Jawa tengah. Sehubungan dengan musibah itu, pengamat sastra Korrie Layun Rampan menyebut Kriapur sebagai seorang orakelis (peramal) yang bisa meramalkan saat datang ajalnya sendiri, sebagaimana tertulis dalam sajaknya berjudul "Kupahat Mayatku di Air" (1981). Kumpulan puisinya Tiang Hitam Belukar Malam (1996).

Kala itu, di sela-sela gerimis bulan Februari, penyair muda asal Solo ini, dalam perjalanan pulang dari Brebes, sehabis menengok saudaranya, menuju Surakarta mobil yang ditumpangi bersama ayahnya sampai di Batang, Pekalongan, tiba-tiba masuk ke dalam sungai. Bersamaan dengan itu, sebuah truk sarat berisi semen menyusul hingga menindih kendaraannya. Hari Selasa tanggal 17 Februari 1987, Kriapur, ayahnya (Soepardjo Siswihadipranoto), dan sopir, meninggal dunia. Dia dimakamkan di pemakaman TPU Purwoloyo, Surakarta. Kriapur meninggalkan seorang istri, yaitu Ny. Sri Dwi Rahayu dan seorang putra bernama Kristianto Adi Nugroho (berumur empat bulan). Sehari sebelum kematiannya ia pernah berpesan kepada kawannya, Anas Fachrudin, agar hari Selasa dan Rabu, Anas tak usah datang ke rumahnya karena ia akan pergi. Rumahnya yang sering dikunjungi oleh kawan-kawan dekatnya terletak di kawasan kampung Jagalan RT 02/IX, Surakarta.

Dia seorang penganut Kristen yang taat, tetapi puisinya membuktikan bahwa ia bukan seorang fanatik atau dogmatik. Bahkan sebaliknya, ia dikenal toleran, kontemplatif, dan sinkretik. Hobi menulis puisinya terpupuk sejak duduk di bangku SMA, kemudian berlanjut sampai di perguruan tinggi. Setamat SMA, ia tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Pada tahun 1986 ia menyelesaikan studi Strata-1-nya. Setelah meraih gelar sarjana dan ijazah Diploma di FKIP pada bidang dan universitas yang sama, Kriapur menjadi pengajar di IKIP Veteran, Karanganyar, Surakarta, sampai saat kematiannya.

Karier kepenyairannya bermula dari sumbangan sajaknya untuk majalah dinding ketika ia masih duduk di bangku SMA. Setelah masuk Perguruan Tinggi, ia aktif mengirimkan karyanya untuk siaran di radio PTPN Solo dan pemancar-pemancar radio amatir lain di kotanya. Kemudian, ia menapak maju dengan menyebarkan karyanya ke berbagai majalah dan surat kabar, seperti Gadis, Mutiara, Hai, dan Berita Buana.

Perjalanan Luka, kumpulan puisi Kriapur, pernah dibacaknnya di Surakarta. Dalam acara itu Kriapur mendapat hantaman keras dari teman-temannya sesama penyair Surakarta. Karena pada saat itu sedang berkembang trend sastra "kontekstual" dan sedang hangat-hangatnya para penyair daerah menolak sajak-sajak "produk Jakarta". Selama menjadi mahasiswa, ia tidak lupa membantu kegiatan sastra di kampusnya. Dia pernah menjadi editor kumpulan sajak Mahastra (Mahasiswa Fakultas Sastra) dan redaktur buletin Himsan Sastra Indonesia. Namanya makin mencuat setelah sajak-sajaknya diminati Horison. Keberhasilan itu membuat namanya diperhitungkan sebagai penyair muda berbakat yang mempunyai kharisma.

Pertama-tama ia membacakan karyanya dalam acara baca puisi di PKJT Solo. Setelah itu, ia mendapat undangan untuk membacakan puisinya dalam forum Pertemuan Penyair 10 Kota (1982) yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, bersama para penyair muda lain dari seluruh Indonesia. Pada acara itu puisi-puisinya mendapat pujian dari kritikus Subagio Sastrowardojo dan Abdul Hadi W.M. Puisinya menjadi bahan pembahasan bersama dengan puisi-puisi Zawawi Imron, penyair Madura. Pada tahun 1983 Kriapur mendapat kesempatan membacakan puisinya bersama Emha Ainun Najib dan Linus Suryadi A.G. di Yogyakarta. Tahun 1984 ia bersama Heru Emka, penyair Semarang, dipanggil untuk tampil berdua membacakan sajak-sajaknya di TMI. Dia pun sering diminta untuk menjadi juri lomba baca puisi, baik di SMP maupun SMA. Tahun-tahun terakhir menjelang studinya usai, ia sibuk menulis esai tentang kesusastraan, khususnya mengenai puisi, yang sering dimuat dalam surat kabar Berita Buana. Sebagian puisinya yang cukup dikenal para pengamat antara lain "Aku Ingin Menjadi Batu di Dasar Kali" (1981) dan "Kupahat Mayatku di Air" (1981).

Sutardji Calzoum Bachri dan Wahyu Wibowo, selain Subagio Sastrowardojo, pernah membahas karya Kriapur. Menurut Sutardji, yang menonjol dari sajak Kriapur ialah imaji-imaji dan ungkapan yang bebas, penuh dengan loncatan-loncatan dadakan (surprises), yang dalam pencapaiannya yang terbaik selalu memukau. Sementara itu, menurut Wahyu Wibowo, karena mati muda, Kriapur belum menghasilkan puisi andal yang mampu dijadikan monumen di dalam perkembangan sajak-sajak Indonesia modern yang disebabkan oleh dua hal. Pertama, masa kepenyairan Kriapur sangat pendek, dan kedua, Kriapur juga belum sempat menerbitkan kumpulan sajaknya dalam format buku cetak. Wahyu Wibowo menilai bahwa dengan membaca sajak-sajaknya, Kriapur tampak sebagai seorang romantikus sejati yang berusaha mencari apa-apa yang dirindukan, yang mengeluh soal kesepian, kegelisahan, kegagalaan, kecemasan, kengerian, dan kemuraman (Harian Pelita, 9 Maret 1988, hlm. 7). Selanjutnya, Wibowo menyatakan bahwa secara formal citra yang kerap muncul di dalam puisinya adalah darah, mimpi, luka, sunyi, laut, hujan, hutan, matahari, dan mati. Sebagai penyair muda, Kriapur sangat mengagumi karya-karya penyair senior, antara lain Abdul Hadi W.M. dan Goenawan Mohamad.

 
PENCARIAN TERKAIT
 
© 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
 
Kriapur   (1959-1987)
Kategori: Pengarang Sastra

 
 

Kriapur, penyair yang sangat produktif. Nama Kriapur adalah akronim dari Kristianto Agus Purnomo. Semula ia memperkenalkan diri dengan nama samaran Kriapur Putra Mega. Akan tetapi, karena dirasakannya nama itu masih terlalu panjang, ia menyingkatnya menjadi "Kriapur". Dia lahir di Solo pada tahun 1959. Lewat sajak-sajaknya Kriapur dikenal sebagai "penyair imajis". Namun, sangat disayangkan oleh semua kalangan, terutama para sastrawan, pada saat kepenyairannya sedang menanjak, ia dipanggil Tuhan, karena kecelakaan lalu lintas dalam perjalanan pulang ke Solo pada Selasa Kliwon 17 Februari 1987 di Batang, Jawa tengah. Sehubungan dengan musibah itu, pengamat sastra Korrie Layun Rampan menyebut Kriapur sebagai seorang orakelis (peramal) yang bisa meramalkan saat datang ajalnya sendiri, sebagaimana tertulis dalam sajaknya berjudul "Kupahat Mayatku di Air" (1981). Kumpulan puisinya Tiang Hitam Belukar Malam (1996).

Kala itu, di sela-sela gerimis bulan Februari, penyair muda asal Solo ini, dalam perjalanan pulang dari Brebes, sehabis menengok saudaranya, menuju Surakarta mobil yang ditumpangi bersama ayahnya sampai di Batang, Pekalongan, tiba-tiba masuk ke dalam sungai. Bersamaan dengan itu, sebuah truk sarat berisi semen menyusul hingga menindih kendaraannya. Hari Selasa tanggal 17 Februari 1987, Kriapur, ayahnya (Soepardjo Siswihadipranoto), dan sopir, meninggal dunia. Dia dimakamkan di pemakaman TPU Purwoloyo, Surakarta. Kriapur meninggalkan seorang istri, yaitu Ny. Sri Dwi Rahayu dan seorang putra bernama Kristianto Adi Nugroho (berumur empat bulan). Sehari sebelum kematiannya ia pernah berpesan kepada kawannya, Anas Fachrudin, agar hari Selasa dan Rabu, Anas tak usah datang ke rumahnya karena ia akan pergi. Rumahnya yang sering dikunjungi oleh kawan-kawan dekatnya terletak di kawasan kampung Jagalan RT 02/IX, Surakarta.

Dia seorang penganut Kristen yang taat, tetapi puisinya membuktikan bahwa ia bukan seorang fanatik atau dogmatik. Bahkan sebaliknya, ia dikenal toleran, kontemplatif, dan sinkretik. Hobi menulis puisinya terpupuk sejak duduk di bangku SMA, kemudian berlanjut sampai di perguruan tinggi. Setamat SMA, ia tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Pada tahun 1986 ia menyelesaikan studi Strata-1-nya. Setelah meraih gelar sarjana dan ijazah Diploma di FKIP pada bidang dan universitas yang sama, Kriapur menjadi pengajar di IKIP Veteran, Karanganyar, Surakarta, sampai saat kematiannya.

Karier kepenyairannya bermula dari sumbangan sajaknya untuk majalah dinding ketika ia masih duduk di bangku SMA. Setelah masuk Perguruan Tinggi, ia aktif mengirimkan karyanya untuk siaran di radio PTPN Solo dan pemancar-pemancar radio amatir lain di kotanya. Kemudian, ia menapak maju dengan menyebarkan karyanya ke berbagai majalah dan surat kabar, seperti Gadis, Mutiara, Hai, dan Berita Buana.

Perjalanan Luka, kumpulan puisi Kriapur, pernah dibacaknnya di Surakarta. Dalam acara itu Kriapur mendapat hantaman keras dari teman-temannya sesama penyair Surakarta. Karena pada saat itu sedang berkembang trend sastra "kontekstual" dan sedang hangat-hangatnya para penyair daerah menolak sajak-sajak "produk Jakarta". Selama menjadi mahasiswa, ia tidak lupa membantu kegiatan sastra di kampusnya. Dia pernah menjadi editor kumpulan sajak Mahastra (Mahasiswa Fakultas Sastra) dan redaktur buletin Himsan Sastra Indonesia. Namanya makin mencuat setelah sajak-sajaknya diminati Horison. Keberhasilan itu membuat namanya diperhitungkan sebagai penyair muda berbakat yang mempunyai kharisma.

Pertama-tama ia membacakan karyanya dalam acara baca puisi di PKJT Solo. Setelah itu, ia mendapat undangan untuk membacakan puisinya dalam forum Pertemuan Penyair 10 Kota (1982) yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, bersama para penyair muda lain dari seluruh Indonesia. Pada acara itu puisi-puisinya mendapat pujian dari kritikus Subagio Sastrowardojo dan Abdul Hadi W.M. Puisinya menjadi bahan pembahasan bersama dengan puisi-puisi Zawawi Imron, penyair Madura. Pada tahun 1983 Kriapur mendapat kesempatan membacakan puisinya bersama Emha Ainun Najib dan Linus Suryadi A.G. di Yogyakarta. Tahun 1984 ia bersama Heru Emka, penyair Semarang, dipanggil untuk tampil berdua membacakan sajak-sajaknya di TMI. Dia pun sering diminta untuk menjadi juri lomba baca puisi, baik di SMP maupun SMA. Tahun-tahun terakhir menjelang studinya usai, ia sibuk menulis esai tentang kesusastraan, khususnya mengenai puisi, yang sering dimuat dalam surat kabar Berita Buana. Sebagian puisinya yang cukup dikenal para pengamat antara lain "Aku Ingin Menjadi Batu di Dasar Kali" (1981) dan "Kupahat Mayatku di Air" (1981).

Sutardji Calzoum Bachri dan Wahyu Wibowo, selain Subagio Sastrowardojo, pernah membahas karya Kriapur. Menurut Sutardji, yang menonjol dari sajak Kriapur ialah imaji-imaji dan ungkapan yang bebas, penuh dengan loncatan-loncatan dadakan (surprises), yang dalam pencapaiannya yang terbaik selalu memukau. Sementara itu, menurut Wahyu Wibowo, karena mati muda, Kriapur belum menghasilkan puisi andal yang mampu dijadikan monumen di dalam perkembangan sajak-sajak Indonesia modern yang disebabkan oleh dua hal. Pertama, masa kepenyairan Kriapur sangat pendek, dan kedua, Kriapur juga belum sempat menerbitkan kumpulan sajaknya dalam format buku cetak. Wahyu Wibowo menilai bahwa dengan membaca sajak-sajaknya, Kriapur tampak sebagai seorang romantikus sejati yang berusaha mencari apa-apa yang dirindukan, yang mengeluh soal kesepian, kegelisahan, kegagalaan, kecemasan, kengerian, dan kemuraman (Harian Pelita, 9 Maret 1988, hlm. 7). Selanjutnya, Wibowo menyatakan bahwa secara formal citra yang kerap muncul di dalam puisinya adalah darah, mimpi, luka, sunyi, laut, hujan, hutan, matahari, dan mati. Sebagai penyair muda, Kriapur sangat mengagumi karya-karya penyair senior, antara lain Abdul Hadi W.M. dan Goenawan Mohamad.

 
PENCARIAN TERKAIT
 
 
 
© 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa