Mas Marco Kartodikromo dikenal sebagai seorang penulis novel terbitan luar Balai Pustaka. Ia lahir pada tahun 1890 di Cepu dan meninggal di Boven Digul, Papua, 18 Maret 1932. Mas Marco berasal dari keluarga priyayi rendahan. Dua hasil karyanya yang terkenal berjudul Student Hidjo (1919) dan Rasa Merdeka atau Hikayat Sudjanmo (1924). Bersama-sama dengan Semaoen, ia digolongkan sebagai salah seorang penulis bacaan liar, yakni sebuah jenis bacaan yang diterbitkan di luar Balai Pustaka sebagai penerbit resmi Pemerintah Belanda. A. Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia menyatakan bahwa karya-karya yang dihasilkan oleh Mas Marco tidak berbeda jauh dengan karya Semaoen.
Pada awalnya ia adalah seorang pegawai di Nederlansch-Indische Spoorweg pada tahun 1905. Di tempat itulah Mas Marco belajar bahasa Belanda. Mas Marco kemudian berpindah haluan dari seorang pegawai menjadi seorang wartawan. Kariernya sebagai wartawan dimulai saat ia bergabung dengan surat kabar Medan Prijaji pimpinan Tirto Adisoerjo di Bandung pada tahun 1911. Dapat dikatakan bawa Mas Marco adalah murid kesayangan Tirto Adisoerjo, pendiri "Indlandsche Joornalistenbond" (JB) yang menerbitkan Doenia Bergerak.
Sebagai seorang wartawan, beberapa kali Mas Marco pernah terkena delik pers karena tulisan-tulisannya. Dia dipenjara selama 100 hari, mulai 23 November 1915—26 Februari 1916. Sekeluarnya dari penjara, ia dikirim ke Belanda oleh harian Pantjaran Warta dan selama tinggal di Belanda, ia sangat terkesan dan terpengaruh oleh suasana kebebasan mengeluarkan pendapat. Ia juga mengagumi golongan sosialis Eropa, seperti Troelstra. Kehidupannya di Belanda tersebut mengilhaminya untuk menulis novel Student Hidjo yang oleh Tanojo dinilai sebagai sebuah novel yang memberikan gambaran hidup bangsa Belanda dari berbagai segi. Tanojo menilai bahwa Student Hidjo berbeda dengan Rasa Merdika yang ditulis berdasarkan ajaran Marx.
Mas Marco kembali berurusan dengan delik pers dan dipenjara selama 1 tahun sekembalinya dari Belanda. Setelah dibebaskan ia bergabung dengan Samaoen di Semarang menjadi Komisaris Sarikat Islam (SI) Semarang dan bergabung dengan harian Sinar Djawa. Dalam harian ini dimuat beberapa syair ia yang mengkritik "gemeenteraad" pada masa itu.
Dia menginginkan gemeenteraad menjadi wakil rakyat yang baik, jika susunannya tidak dikuasai oleh bangsa Belanda. Syairnya yang lain mengkritik "Indie Weerbaar" (milisi pertahanan Hinia).
Pada tanggal 15 Desember 1919 ia menyatakan mengundurkan diri dari Sinar HInia dan bergabung dengan Soero Tamtomo, salah satu badan atau lembaga organisasi Wono Tamtomo, perhimpunan pegawai Dinas Kehutanan. Ia kembali ke delik pers sehubungan dengan tulisannya yang berjudul "Syair Sentot" dan ia dipenjara selama 6 bulan. Karena melihat dunia pergerakan telah guncang, sekeluarnya dari penjara ia pindah ke Yogyakarta dan menjadi wakil sekretaris CSI Yogyakarta.
Selama di Yogyakarta, Mas Marco juga tidak merasa tentram ia kemudian menyatakan mengundurkan diri dari pergerakan dan pindah ke Salatiga. Di sana ia kembali terkena delik pers karena tulisannya dalam Pemimpin. Ia dihukum penjara selama 2 tahun di Weltervreden. Ia kembali ke Salatiga pada tahun 1923 ketika PKI dan SI merah muncul sebagai kekuatan dalam pergerakan. Mas Marco akhirnya menjadi anggota PKI dan menjabat ketua Sarekat Rakyat di sana. Mas Marco kemudian harus mengakhiri aktivitasnya setelah terjadinya pemberontakan tahun 1926. Dia adalah salah satu korban yang dibuang ke Digul dan meninggal di sana pada tahun 1932 karena penyakit malaria.