Misbach Jusa Biran dikenal sebagai sutradara dan penulis skenario juga sebagai seorang sastrawan, yakni sebagai penulis cerita pendek dan novel. Dia lahir di Rangkasbitung tanggal 22 September 1933 dan telah menyandang gelar haji tahun 1964 dan meninggal tanggal 11 April 2012. Dalam Horison No. 1 Tahun 1997 Motinggo Busye menyatakan bahwa apabila Djamaluddin Malik (alm. ayah Camelia Malik) muncul di Senen, Djamaluddin Malik selalu mentraktir para seniman Senen itu dengan makan-makan di Restoran Merapi. Kesempatan itu sering dimanfaatkan mereka untuk makan enak; biasanya selain pesan nasi dan sate padang, mereka juga memesan bir. Hanya ada dua sastrawan yang tidak minum bir, yaitu Misbach Yusa Biran dan S.M. Ardan.
Misbach pertama kali menikah dengan Eleanora Nikijuluw (Nora) tanggal 12 Maret 1964. Perkawinannya bersama Nora tidak berlangsung lama dan mereka bercerai bulan Desember 1964. Lima tahun kemudian, tepatnya tanggal 16 Januari 1969, Misbach Yusa Biran (wartawan film) menikah dengan Nany Wijaya (artis film) dan resepsinya diadakan di Gedung Wanita, Jakarta, tanggal 18 Januari 1969 dan mereka dikaruniai 6 orang anak (4 perempuan dan 2 laki-laki), yaitu Nina Kartika, Tita Fitrah Soraya, Cahya Kamila, Firdausi, Farry Hanief, dan Sukma Ayu.
Dia menyelesaikan pendidikan di Taman Madya Bagian B, Jakarta. Di samping pernah bekerja di Perfini (1954—1957), ia juga pernah menjabat Direktur Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta dan anggota Dewan Film Nasional. Selain itu, ia juga menjabat Kepala Sinematik Indonesia dan Ketua Umum Karyawan Film dan Televisi (1987—1991). Dia pernah menjadi pemimpin redaksi Minggu Abadi (1958—1959), Purnama (1962—1963), redaktur Duta Masjarakat (1965—1966), Abad Muslimin (1966), dan Gelanggang (1967).
Namanya mula-mula terkenal karena sketsa-sketsanya tentang kehidupan "Seniman Senen" yang dimuat dalam majalah Aneka tahun 1950-an. Pada masa itu ia sudah bergerak dalam bidang perfilman. Dengan menggunakan nama samaran Ardjawi, ia pun telah mengisi ruangan "Komedi Djakarta" dalam edisi minggu Harian Abadi yang melukiskan kehidupan sehari-hari rakyat Jakarta. Dari sketsa-sketsa kehidupan rakyat Jakarta ini kemudian ia menulis cerita yang dibuat film "Ardjawi ke Ibukota".
Cerita pendeknya, antara lain berjudul (1) "Musim Barat" dalam Merdeka No. 23 Tahun 1956, (2) "Si Embok dan si Kukut" dalam majalah Star Weekly No. 27 Tahun 1959, (3) "Nasihat" dalam Berita Minggu Tahun VIII No. 4, tanggal 26 Maret 1961, (4) "2-0-1-1 Potongan Rambut Edhie Polo" dalam Gelanggang No. 1 Tahun 1966, dan (5) "Bentang Pilem Anyar, Boga Bakat" dalam majalah Mangle No. 1007 Tahun XXVIII, 1985.
Menurut A. Teeuw dalam Sastra Indonesia Modern II, Jakarta, (1989), Misbach Jusa Biran adalah penulis cerita pendek dari gaya yang sudah dikenal di Indonesia sejak zaman Suman Hs., tetapi ia memadukannya dengan pendekatan modern yang melimpah dengan kejenakaan.
Dramanya Bung Besar memperoleh hadiah kedua Sayembara Penulisan Naskah Drama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1958. Drama tersebut kemudian diterbitkan secara bersambung dalam majalah Budaya No. 3, 4, dan 5 Tahun 1959. Dramanya yang lain adalah "Setengah Djam Mendjelang Maut", 1968 dan pernah ditayangkan di TVRI. Novelnya berjudul Menjusuri Djedjak Berdarah 1967, diterbitkan oleh Budajata, Jakarta, merupakan penulisan dari cerita film yang dibuatnya sendiri.
Sejak duduk di Taman Madya (SLTA) Taman Siswa, Jakarta, ia sudah menyutradarai beberapa teater dan menulis resensi film. Dunia film mulai digelutinya tahun 1954 sebagai pencatat skrip di studio Perfini. Tahun 1956 ia tercatat sebagai anggota sidang pengarang di studio pimpinan Usmar Ismail Marzuki. Tahun 1960 ia mulai menapaki dunia film sebagai sutradara muda. Pada "Pekan Apresiasi" 1967 Misbach Jusa Biran terpilih sebagai penulis cerita terbaik untuk film "Menjusuri Djedjak Berdarah" dan sutradara terbaik untuk penggarapan film "Di Balik Tjahaja Gemerlapan". Kepiawaiannya dalam perfilman dibuktikan lewat berbagai prestasi dalam menyutradarai filmnya, seperti (1) "Saodah", (2) "Satu Budjang Lima Dara", (3) "Bing Slamet Merantau" (4) "Istana jang Hilang", (5) "Bintang Ketjil", (6) "Panggilan Nabi Ibrahim", (7) "Matjan Kemajoran", (8) "Langkah di Persimpangan", (9) "Romansa", (10) "Samiun dan Dasima", (11) "Hanja Satu Djalan", (12) "Bandung Lautan Api", (13) "Naga Merah", (14) "Lingkaran Setan", (15) "Pesta Musik La Bana", (16) "Holiday in Bali", (17) "Di Balik Tjahaja Gemerlapan", (18) "Menyusuri Djedjak Berdarah", (19) "Operasi X" (1968), (20) "Krakatau", (21) "Tenggelamnja Kapal van der Wijk", dan (21) "Honey, Money & DF".
Tahun 1970 Misbach yang mendapat julukan "Seniman Senen", meninggalkan dunia film yang penuh dengan "gemerlap" karena banyaknya produser yang menginginkan tema film yang bersifat kekerasan dan pornografi sementara Misbach sangat mengharamkan jenis film seperti itu.