Mh. Rustandi Karta-kusuma, sastrawan yang mulai menulis puisi pada akhir tahun 1940-an juga terkenal sebagai penulis esai kesusastraan sejak awal tahun 1960-an hingga 1980-an, dan dikenal pula sebagai sastrawan Sunda dan ahli sastra Sunda. Mh. Rustandi Kartakusuma yang akrab dipanggil Uyus lahir di Ciamis, Provinsi Jawa Barat, tanggal 27 April 1921 dan meninggal dunia dalam usia 87 tahun, Jumat 11 April 2008 pukul 06.15 WIB di Panti Jompo Ria Pembangunan, Cibubur. Ayahnya bernama Mas Kadarisman, seorang pangrehpraja, dan ibunya bernama Siti Mardiam. Dia yang beragama Islam sewaktu berumur dua tahun, dibawa oleh orang tuanya untuk pindah ke Bandung.
Sejak kecil Rustandi bercita-cita ingin menjadi orang pandai. Pada waktu salah seorang kakaknya menjadi dokter, cita-citanya beralih, yaitu ingin menjadi dokter, kemudian ingin menjadi profesor doktor. Pada masa dewasa ia berpendapat bahwa bidang kesusastraan merupakan pilihan hidupnya yang paling tepat. Hal itu sesuai dengan bakatnya yang mulai kelihatan sewaktu ia belajar di sekolah dasar. Dia selalu mendapat nilai bagus untuk pelajaran mengarang.
Setelah selesai menempuh pendidikan di HIS tahun 1942, Rustandi melanjutkan pendidikannya ke bagian IPA. Setamat HBS, ia melanjutkan pendidikan ke sekolah Jepang, Koto Shihan Gakko (Sekolah Tinggi Guru) Bagian A (kesusastraan). Karena keadaan darurat masa-masa prakemerdekaan RI, sekolah yang seharusnya dijalaninya selama dua hingga tiga tahun, ternyata hanya ditempuhnya dalam waktu delapan bulan. Dengan ijazah sekolah Jepang itu, Rustandi ditugaskan mengajar di Garut. Di kota itu ia hanya bisa bertahan selama setahun. Akhirnya, pekerjaan sebagai guru ditinggalkannya kemudian berangkatlah ia ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Islam, yang kelak menjadi IAIN tetapi kuliahnya tidak berjalan dengan baik karena keadaan revolusi.
Dalam zaman revolusi Rustandi mendapat kepercayaan dari Menteri Penerangan RI, saat itu, Moh. Natsir, untuk memimpin rombongan penerangan yang bertugas menyebarkan gerakan revolusi ke Bali dan Nusa Tenggara Barat. Di dalam rombongannya terdapat, antara lain, Mahar Mardjono (mantan Rektor UI), Juhana (mantan Gubernur BI), dan Ilen Suryanagara (mantan diplomat). Sekembalinya dari tugas itu, Rustandi menolak tawaran untuk menjadi pegawai tetap di Departemen Penerangan RI karena ia ingin kembali ke bidang kebudayaan (kesusastraan). Rustandi berangkat ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya di Fakultas Sastra Filsafat Timur jurusan sastra, Universitas Gadjah Mada. Di samping itu, ia juga kuliah di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang saat itu sudah pindah ke Yogyakarta. Sambil kuliah di kota Yogyakarta, Rustandi bekerja di Departemen Pertahanan, tempat Armijn Pane bekerja.
Ternyata bagi Rustandi, baik kuliah maupun bekerja, tidaklah memberikan kepuasan pada dirinya kemudian bangku perkuliahan ditinggalkannya dengan alasan bahwa ia merasa lebih pandai daripada dosen-dosennya lalu mendaftarkan dirinya sebagai prajurit Kompi II Bandung. Selanjutnya, ia kembali ke kampung halamannya di Ciamis. Di kampung halamannya itu ia mulai menulis puisi. Sebelumnya, Rustandi menulis naskah drama berjudul Perabu dan Puteri. Naskah itu pada masa perjuangan dipentaskan dengan judul "Indonesia Tanah Pusaka" dan pemainnya para pemuda pelajar masa itu yang tergabung dalam Tentara Pelajar.
Mh. Rustandi Kartakusuma tidak menyelesaikan pendidikan formalnya karena mempunyai pandangan khusus tentang pendidikan. Menurutnya, pengalaman langsung dalam kehidupan masyarakat merupakan pendidikan yang paling tinggi. Dia memang sangat mempercayai kebenaran ungkapan dalam bahasa Belanda yang berbunyi Levenself is de horgote school yang berarti 'kehidupan adalah sekolah tertinggi'. Baginya, minat yang besar terhadap lapangan kebudayaan, khususnya kesusastraan, seolah-olah tidak ada hubungannya dengan keadaannya yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Majalah berbahasa Sunda, Mangle, pernah menjulukinya sebagai "kawah yang selamanya bergolak". Kehidupannya hanya dihabiskan untuk menambah pengetahuan dan pengalaman yang berkaitan dengan minatnya. Untuk itu, ia menjelajahi kota-kota di dunia dengan biaya sendiri. Penguasaannya terhadap tujuh bahasa asing (Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, Jepang, dan Malaysia) mempermudah perjalanannya keliling dunia. Secara ringkas, riwayat pekerjaan dan pengalaman Mh. Rustandi Kartakusuma dapat dipaparkan sebagai berikut. (1) Guru Bahasa dan Sejarah Indonesia, (2) Pemimpin Utusan Kementerian Penerangan di Kepulauan Sunda Kecil (Bali dan Nusa Tenggara Barat), (3) Ketua Balai Penerangan Sunda Kecil (selama sebulan), (4) Pegawai Kementerian Pertahanan Bagian Penerangan, (5) Dosen Bahasa Indonesia di Yale University, Amerika Serikat, Program Post Graduate Studies (1951--1952), (6) Dosen Harvard University, kerja sama dengan Massachuset Institut Technology mengisi program Summer Course (1952), (7) Delegasi pengarang Indonesia di Kongres PEN Club Dublin, Irlania, (8) Pembantu Atase Kebudayaan RI di Paris, Perancis (1954—1966), (9) Ketua Tim Juri Inti Sayembara Besar Mengarang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Balai Pustaka (1965—1966), dan (10) Redaktur majalah Harmoni, koran Mandala, serta majalah berbahasa Sunda seperti Mangle, Nirmala, dan Gondewa.
Dalam berkarier Rustandi memilih Bandung sebagai tempat menetap. Karya sastra yang ditulisnya berbentuk puisi, drama, cerita pendek, dan esai, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda. Pertama kali Rustandi menampilkan puisinya dalam majalah Poedjangga Baroe akhir tahun 1940-an. Diakuinya bahwa tampilan puisi pertamanya dalam majalah kebudayaan itu berkat bantuan H.B. Jassin. Karya-karya sastra yang dihasilkan Mh. Rustandi Kartakusuma adalah sebagai berikut. (1) Perabu dan Puteri, drama remaja tahun 1950, penerbit Balai Pustaka, (2) Rekaman dari Tudjuh Daerah, kumpulan puisi tahun 1951, Penerbit Balai Pustaka, (3) Heddie dan Tutie, drama remaja tahun 1951, Penerbit Pustaka Rakyat, (4) Ita dan Adiknya Is; cerita anak-anak tahun 1952, Penerbit Pustaka Rakyat, (5) Merah Semua Putih Semua, drama tahun 1958, diterbitkan Balai Pustaka tahun 1961, (6) "Lagu Kian Mendjauh", skenario film tahun 1951, dalam majalah Indonesia, (7) "Geisha", terjemahan drama karya Yamamoto Yuzo, Dewan Kesenian Jakarta, (8) "Jang Mati Tak Bernama", terjemahan drama karya J.P. Sartre, Dewan Kesenian Jakarta, dan (9) Mercedez 190, novel Sunda tahun 1970-an, diterbitkan kembali oleh Akadoma, Bandung tahun 1993.
Sekalipun sudah mengadakan perjalanan budaya secara internasional, orientasi budaya Mh. Rustandi tetap bersifat nasional. Dia berpendapat bahwa kebudayaan dan kesenian Indonesia harus berorientasi pada kebudayaan milik sendiri dan harus kembali ke akar budaya pribadi sebagai bangsa Timur.
Dalam mengemukakan pendapat Mh. Rustandi dikenal sangat vokal. Pada tahun 1950-an—1960-an ia menjuluki kritikus Belanda sebagai nabi kulit putih. Dia mengatakan bahwa perkembangan pengarang Indonesia sudah terpengaruh oleh bangsa Barat. Mungkin Mh. Rustandi orang pertama yang mengemukakan bahwa kesusastraan Indonesia terpisah dari masyarakatnya. Menurutnya, para penulis Indonesia sudah tidak mau mengenali kebudayaan milik sendiri. Sebagai akibatnya, karya sastra tidak dikenal oleh masyarakat. Sebagai pengamat kesenian, ia pun mampu menyelami dunia perfilman nasional. Untuk kegiatannya ini ia pernah meraih prestasi sebagai Kritikus Film Terbaik versi Festival Film Indonesia di Medan tahun 1983. Pada waktu mengemukakan pendapatnya tentang dunia kesusastraan Indonesia, yang dikatakannya terpengaruh oleh Barat, ada beberapa penulis lain yang memberikan sanggahan, antara lain Goenawan Moehamad. Menurut Goenawan, logika yang dipakai Mh. Rustandi saat melancarkan kritiknya terhadap orientasi para pengarang Indonesia adalah "logika panas". Selanjutnya, Goenawan mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia, terutama tahun 1970-an, berkembang berdasarkan kreativitas para sastrawan dengan unsur pengalaman pribadi masing-masing sebagai sumber ilhamnya. Sebenarnya pendapat kedua penulis yang berpolemik ini memiliki kebenaran dengan argumentasi masing-masing.
Tahun 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri menganugerahkan penghargaan Satya Lencana Kebudayaan atas jasanya mengembangkan kesusastraan dan kebudayaan Sunda. Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi juga menganugerahkan penghargaan Sastra Rancage pada tahun 1992 atas kumpulan cerpennya Amanat dina Napas Panungtungan 'Amanat dalam Nafas Terakhir' (2005). Dramanya Merah Semua Putih Semua (1958) mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN tahun 1960, tetapi hadiah itu ditolaknya.
Mh. Rustandi tetap menulis di bidang sastra atau kesenian. Tahun 1980-an ia banyak mengumumkan tulisannya lewat surat kabar Pikiran Rakyat, Bandung. Hingga masa tuanya Mh. Rustandi hidup membujang.