Nur Sutan Iskandar adalah sastrawan penting dan produktif generasi Balai Pustaka. Dia sudah menulis novel sejak tahun 1920-an. Sesuai dengan kecenderungan umum pengarang dasawarsa itu, Nur Sutan Iskandar amat tertarik pada permasalahan adat dan kaum muda, khususnya yang menyangkut perkawinan. Dua novelnya yang terkenal adalah Hulubalang Radja dan Salah Pilih.
Nur Sutan Iskandar lahir di Sungai Batang, Sumatra Barat, tanggal 3 November 1893 dengan nama Muhammad Nur dan meninggal di Jakarta tanggal 28 November 1975. Dia kelahiran Minangkabau dalam lingkungan Islam. Setelah beristri, ia diberi gelar Sutan Iskandar.
Sesudah menamatkan pelajarannya di sekolah rendah, tahun 1908 Nur Sutan Iskandar menjadi guru sekolah desa di Sungai Batang. Pada waktu itu ia menempuh ujian guru bantu, tetapi tidak berhasil. Untuk itu, ia diminta oleh guru kepala untuk "magang" (kwrekeling) di sekolah itu sebagai pelatihan mengenali sekolah dan mengajar murid. Tahun 1911 Nur Sutan Iskandar ddiangkat sebagai guru baru di Muara Bakti (Palembang). Tahun 1914 ia dipindahkan ke Padang dan mengajar di sekolah rendah kelas II.
Tahun 1919 Nur Sutan Iskandar pindah ke Jakarta dan bekerja di Balai Pustaka sebagai korektor redaksi Melayu. Setelah lulus ujian Bureau Cursus di Jakarta tahun 1924, ia ddiangkat sebagai redaktur di Balai Pustaka. Pada tahun 1921 ia lulus dalam menempuh ujian KAE (Klein Ambtenars Examen), yaitu ujian untuk menjadi pegawai rendahan setingkat dengan pengetahuan SD.
Kariernya di Balai Pustaka dimulai dari seorang korektor yang berkembang sampai menjadi redaktur kepala (hoofdredacteur). Pada tahun 1950 ia menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Selain itu, Nur Sutan Iskandar pernah menjabat pengurus Budi Utomo tahun 1929. Pada tahun 1935--1942 ia menjabat bendahara Partai Indonesia Raya (Parindra). Setelah Indonesia merdeka, ia bekerja sebagai anggota pengurus Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada pemilihan umum tahun 1955, Nur Sutan Iskandar terpilih sebagai anggota konstituante.
Istri Nur Sutan Iskandar berasal dari Minangkabau. Dari perkawinannya itu ia memperoleh beberapa orang anak. Anaknya yang tertua bernama Nursinah yang menikah dengan pemuda Jawa dan oleh H.B. Jassin dijuluki sebagai "perkawinan Indonesia" karena perkawinan seperti itu pada tahun 1930-an merupakan peristiwa yang langka. Nama Nursinah pernah dipakai oleh Nur Sutan Iskandar sebagai salah satu nama samarannya ketika menulis Apa Dajaku karena Akoe Perempoean.
Tulisan Nur Sutan Iskandar yang terakhir berangka tahun 1962. Di samping menulis karya asli, Nur Sutan Iskandar juga menerjemahkan beberapa karya sastra asing. A. Teeuw mengatakan bahwa Nur Sutan Iskandar telah menerjemahkan berbagai buku, dari Quo Vadis hingga Conan Doyle, dari buku tentang kasti hingga sayur-sayuran. Dia juga menyadur kisah Abu Nawas, dan L'Avare karya Moliere untuk masyarakat Indonesia dengan judul Si Bachil.
H.B. Jassin menyatakan bahwa Nur Sutan Iskandar sebagai tokoh penting generasi 1920-an. Dia sangat penting bukan saja karena karangannya yang asli, terjemahan, atau saduran, tetapi kedudukannya di Balai Pustaka sebagai penimbang naskah dan penyunting naskah yang akan diterbitkan. Di samping itu, ia juga orang yang berjasa dan bersemangat dalam perkembangan bahasa dan cita-cita kebangsaan. Di Balai Pustaka ia banyak meloloskan karya sastra, termasuk mengedit karya itu.
A. Teeuw, dalam Pokok dan Tokoh menempatkan Nur Sutan Iskandar sebagai pengarang penting sebelum perang. Teeuw menyatakan bahwa Nur Sutan Iskandar pastilah salah seorang pengarang Balai Pustaka yang terkemuka sebelum perang dunia. Baik melihat jumlah buah tangannya maupun isi (nilai) karangannya, Nur Sutan Iskandar banyak mendapat perhatian. Selain itu, ia pada umumnya mempunyai pengaruh yang besar atas seluruh hasil kesusastraan Balai Pustaka.
Chairil Anwar, pelopor Angkatan 45, menyatakan bahwa kita harus mengetahui dan meniru Nur Sutan Iskandar dalam kegiatannya bekerja. Nur Sutan Iskandar adalah orang yang kuat fantasinya.
Zuber Usman mengemukakan beberapa pujian dan kritiknya terhadap Nur Sutan Iskandar. Dalam bukunya Kesusastraan Baru Indonesia, ia menyatakan bahwa kalau Nur Sutan Iskandar menceritakan sesuatu ia takkan berhenti sebelum orang jemu membacanya. Karya Nur Sutan Iskandar banyak sekali, antara lain Apa Dayaku karena Akoe Perempoean (novel, 1922), Tjinta jang Membawa Maoet (novel, 1926 ditulis bersama Abd. Ager). Salah Pilih (novel, 1928), Karena Mentoea (novel, 1932), Hoeloebalang Radja (novel, 1934), Katak Hendak Djadi Lemboe (novel, 1935), Neraka Doenia (novel, 1937), Tjinta dan Kewadjiban (novel, 1940, dikarang bersama dengan L. Wairata), Tjinta Tanah Air (novel, 1944),Tjobaan (novel, 1946), dan Moetiara (novel, 1946).
Karena keaktifannya mengurus Jong Sumatranen Bond, Nur Sutan Iskandar tercatat sebagai tokoh perintis kemerdekaan RI dan pada tahun 1961 ia menerima Satyalencana Kebudayaan dari pemerintah Indonesia.