Notosusanto adalah sastrawan yang lahir 15 Juni 1931 di Rembang (Jawa Tengah), sebagai anak sulung dari tiga bersaudara. Dia beragama Islam. Ayahnya, Prof. Mr. R.P. Notosusanto adalah guru besar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Nugroho Notosusanto menikah dengan Irma Savitri Ramelan tanggal 12 Desember 1960 dan mempunyai tiga orang anak, yang pertama bernama Indrya Smita, kedua Inggita Sukma, dan yang ketiga Norottama. Nugroho meninggal 3 Juni 1985 di Jakarta karena pendarahan di otak, pada waktu ia menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Nugroho Notosusanto adalah sastrawan yang banyak menulis kisah perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan Belanda. H.B. Jassin menggolongkan Nugroho Notosusanto ke dalam angkatan '66. Karyanya lebih banyak berbentuk cerita pendek.
Nugroho bersekolah di SR di Jakarta (1944), SLTP di Yogyakarta (1947), SLTA di Yogyakarta (1951), dan tamat Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1959). Bidang yang diminati dan dijadikan riset utamanya adalah Revolusi Indonesia dan Perang Kemerdekaan. Dia kemudian memperdalam metode sejarah dan filsafat sejarah di Universitas London (1960--1961). Gelar doktor dalam Ilmu-Ilmu Sastra Bidang Sejarah diraihnya di Universitas Indonesia (1977), dengan tesis berjudul The Peta Army During the Japanese Occupation of Indonesia. Tahun 1979 ia dikukuhkan sebagai guru besar Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra UI, dengan pidato pengukuhannya berjudul "Sejarah Demi Masa Kini".
Semasa mahasiswa, ia pernah menjabat Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI (1952—1953), Ketua Gerakan Mahasiswa Jakarta (1955—1956), Ketua Serikat Pers Mahasiswa Indonesia (1955—1958), dan Ketua Badan Kerja Sama Kesenian Mahasiswa Indonesia (1958). Dia pun pernah menjabat redaktur majalah kampus Gelora (1949—1950), Kompas (1951—1954), Mahasiswa (1957—1958), dan Indonesia (1958). Selain itu, ia juga menjabat Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FSUI (1963—1964), Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan UI (1964—1967), Kepala Pusat Sejarah ABRI (dengan pangkat Brigadir Jenderal TNI Tituler), Rektor Universitas Indonesia (1982—1983), dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (1983—1985).
Dalam kemiliteran, kariernya dimulai sebagai anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Pelajar Brigade 17 (TKR) di Yogyakarta (1945--1960). Dia mengajar di Lemhanas dan Sesko ABRI (1964) serta mengajar di Sekolah Staf Dinas Luar Negeri, Departemen Luar Negeri RI (1975). Jabatannya yang lain adalah Wakil Ketua Harian Badan Pembina Pahlawan Pusat (1971), anggota Dewan Pers (1974), dan anggota Badan Pertimbangan Perintis Kemerdekaan (1975).
Tahun 1955—1956 Nugroho menjadi Ketua Juri Hadiah Sastra Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN). Tahun 1958--1959 ia diangkat sebagai pengurus BMKN dan tahun 1958 sebagai anggota juri Lomba Penulisan Naskah Drama Kementerian PPK.
Bersama Menteri Kehakiman Ismail Saleh, Nugroho menulis The Coup Attempt of the September 30 Movement in Indonesia (1968), berdasarkan bukti-bukti dari pengadilan Mahmilub dan hasil pemeriksaan pendahuluan, sebagai bantahan terhadap ulasan Cornell Paper, buletin terbitan Cornell University, Amerika Serikat.
Jabatannya yang lain ialah Ketua Penulisan Buku Teks Sejarah Hankam/ABRI, Ketua Tim Pelaksana Pengisian Museum Sejarah Tugu Nasional, dan Wakil Ketua II dan Ketua Panel VI Panitia Penulisan Buku Standar Sejarah Nasional Indonesia. Tahun 1976 ia iajak oleh Presiden Soeharto untuk mengadakan pertemuan bersama Jenderal Amir Machmud, Jenderal M. Jusuf, dan Mashuri S.H. untuk meluruskan penafsiran tentang Peristiwa 11 Maret 1966. Dia juga dikenal sebagai penulis skenario film G 30 S/PKI.
Nugroho Notosusanto dikenal sebagai sejarawan dan sastrawan terkemuka di Indonesia yang menulis secara produktif. Nugroho menghasilkan banyak karya, baik karya ilmiah, fiksi, maupun terjemahan. Dia menulis cerita pendek dan puisi dalam majalah kampus Kompas dan majalah Nasional, Kisah, Mimbar Indonesia, Siasat, Forum, Budaja, dan Femina. Buku kumpulan cerita pendeknya, antara lain berjudul Hudjan Kepagian (1958), Tiga Kota (1959), Rasa Sajange (1961), dan Hidjau Bumiku, Hidjau Badjuku (1963). Karya ilmiahnya, antara lain berjudul Seri Pahlawan Nasional (1972), Norma-Norma Dasar Penelitian Sejarah Kontemporer (1978), Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang (1979), dan Tercapainya Konsensus Nasional 1966--1969 (editor, 1985). Dalam The Indonesian Quarterly, No.1/1975, Jakarta terdapat tulisannya "The Historical Development of the Dual Function of Indonesian Armed Forces".
Buku terjemahannya ialah Perang Salib di Eropa (1968) dari Crusade in Europe karya Dwight D. Eisenhower, Kisah daripada Bahasa (1971) dari The Story of Language karya Mario Pei, dan Mengerti Sejarah (1975) dari Understanding History: A Primer of Historical Method karya Louis Gottschalk.
Pengalamannya dalam dunia kemiliteran dinukilkan Nugroho dalam Hudjan Kepagian, berupa kumpulan cerita pendek tentang pemuda-pemuda yang dalam usia muda sudah harus mengalami kesukaran di garis depan. H.B. Jassin dalam Gema Tanah Air, kumpulan puisi dan cerita-cerita pendek antara tahun 1942—1948 menggolongkan Nugroho sebagai salah seorang wakil yang kuat dari Angkatan '45. Akan tetapi, dalam Angkatan 66, Jassin juga memuat cerita pendek Nugroho Notosusanto berjudul Mbah Danu yang ddiambil dari kumpulan cerita Tiga Kota, yang berkisah tentang pengalaman Nugroho di kota Rembang, Yogya, dan Jakarta.
Setelah membaca Mbah Danu, Jassin mendapat kesan bahwa lingkungan dan pendidikan awal Nugroho besar pengaruhnya pada sikap dan pandangan hidupnya, serta sikap memakai ukuran otak, terhadap dunia nenek moyang yang magis religius. Menurut Ajip Rosidi, dalam bukunya Tjerita Pendek Indonesia (1968:137), Nugroho dalam enam cerita pendek yang diterbitkan oleh Dinas Penerbitan Balai Pustaka di bawah judul Hudjan Kepagian menulis tentang revolusi sudah beberapa tahun lampau. Dalam waktu selama itu, Nugroho sempat meninjau, memikirkan, menganalisis, dan merenungkan pengalamannya dengan seluruh tubuh dan jiwanya.
Ketika membaca keenam cerita pendek yang terhimpun dalam Hudjan Kepagian, ingatan Ajip Rosidi keras terkenang kepada bait-bait puisi Chairil Anwar "Krawang Bekasi" (atau lebih benar adanya bait-bait sajak Archibald Mac Leish yang diterjemahkan secara "bebas" oleh Chairil Anwar). Dalam beberapa bagian, Nugroho telah berhasil menceritakan dalam prosa apa yang dikatakan oleh bait-bait itu (Rosidi, 1968:138--139).
Ajip Rosidi juga menyatakan bahwa dalam cerita-cerita pendeknya yang lain, Nugroho melukiskan suasana front, lengkap dengan segala kepercayaan, kekacauan, nafsu, kekejaman, kemanusiaan, harapan, kebanggaan, keberanian, dan ketakutan. Semuanya baik sekali dilukiskan, terutama karena didukung oleh pengalaman dan ingatan yang masih segar. Pengalaman ini bukanlah iartikan semata-mata yang secara langsung dialaminya, tetapi pengetahuan yang luas untuk menyusun latar belakang cerita sehingga cerita, itu bisa kita terima sebagai sesuatu yang wajar dan "hidup" (1968:140). Selain sebagai seorang pengarang, Nugroho adalah juga seorang penulis esai sastra. Dia adalah pembela sastrawan-sastrawan muda. Nugroho adalah orang yang memprakasai diselenggarakannya simposium sastra FSUI pada tahun 1953 yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai tahun 1958. Pada tahun 1954 dan 1955 Nugroho memimpin simposium itu dan tahun 1957 ia dipilih sebagai pemrasaran soal cerpen Indonesia. Nugroho memperoleh penghargaan Bintang Dharma, Bintang Gerilya, Bintang Yudha Dharma, Satyalencana Peristiwa Kemerdekaan I dan II, Satyalencana Dwidya Sistha, dan Satyalencana Penegak.