Njoo Cheong Seng pengarang Sastra Melayu Tionghoa yang karyanya tergolong banyak penggemarnya. Ia menggunakan beberapa nama, antara lain Munziel Anwar, Monsieur Amor, Monsieur d'Amor, Gagak Lodra, dan Mung Mei. Terkadang namanya ditulis cukup inisialnys saja, yaitu N.C.S. atau N.Ch.S.
Karya Njoo Cheong Seng rata-rata menyenangkan dan mudah dibaca. Dia lahir tahun 1902 di Malang, dan meninggal di kota yang sama pada tahun 1962. Ada pula yang berpendapat, seperti John B. Kwee, bahwa ia sebetulnya tidak dilahirkan di Malang, tetapi Bangkalan, Madura. Njoo Cheong Seng menikah dengan Fifi Young. Pasangan Fifi Young dan Njoo Cheong Seng dikaruniai lima orang anak, dua orang laki-laki, Njoo Jou Gie dan Njoo Shoe Yen, dan tiga orang perempuan. Dari ketiga anak perempuannya ini, dua orang meninggal dunia ketika masih bayi, dan seorang lagi, Sally Young, mengikuti jejak ibunya menjadi bintang film. Setelah Perang Dunia II, Njoo Cheong Seng jatuh cinta pada seorang aktris muda yang bernama Mipi Malenka. Belakangan Njoo mengambil Mipi sebagai istri mudanya. Fifi menerima kenyataan ini, dan bahkan bersedia mendampinginya ketika Mipi melahirkan anak lelakinya. Namun akhirnya Fifi pun berpisah dari Njoo.
Pendidikan formalnya tidak tinggi. Njoo Cheong Seng bersekolah Kelas 5 sekolah Belanda, SMP sekolah Tionghoa, dan 7 tahun standar sekolah Inggris, tapi tidak sampai lulus. Sejak kanak-kanak, ia gemar membaca. Mula-mula ia membaca buku-buku roman Inggris dan Belanda, antara lain karangan Charlotte M. Brame, Charles Garvice, E. Phillips Openheim, Bertha Mac Clay, Elinor Glyn, dan lain-lain. Kemudian ia membaca pula buku-buku karya Ridder Haggard, Charles Dickens, Victor Hugo, Shakespeare, O Henry, Guy de Maupassant, Oscar Wilde, Emile Zola, Emily Bronte, Jane Austen, dan lain-lain. Para penyair yang digemarinya adalah Tennyson, Robert Browning, John Milton, Lord Byron, dan sebagainya.
Ia mulai menulis untuk sebuah surat kabar dalam usia yang masih sangat muda. Novel pertamanya adalah Tjerita Penghidoepan Manoesia pada tahun 1919, bersama So Chuan Hong (informasi Sin Po 850/1939 p.23). Selama tahun 1921, ia menulis sebuah serial untuk Sin Po, dan pada tahun 1922 ia menjadi penyumbang bagi mingguan Hoa Po di Gresik (Jawa Timur). Pada tahun 1923 menjadi editor inti majalah dua-bulanan Interocean di Surabaya, terbitannya terutama berisi artikel-artikel politik dan ekonomi. Tahun 1925 ia mulai bekerjasama dengan dua penulis lain, yaitu Ong Ping Lok dan Liem King Hoo untuk menjawab tawaran Tan's Priting House yang mencetak Interocean. Pada tahun 1924 Interocean berganti nama menjadi Hoa Kiao. Saat itu redaktur Hoakiao di bawah pimpinan Quo-Henzo, dengan Kwee Hing Tjiat sebagai redaksi di Tiongkok. Tahun 1925 ia diangkat menjadi pimipinan redaksi majalah itu. Sepuluh tahun kemudian (1934) ia memimpin majalah Bintang Film & Romans di Padang, dan dua puluh tahun kemudian (1954) ia memimpin majalah Permata (Prana Post).
Novel Njoo Cheong Seng, Kris Mas, dijadikan film (1940) yang membuat namanya menjadi lebih terkenal. Karena menjadi bintang dalam film itu, nama Fifi Young juga menjadi terkenal. Dalam sejarah perfilman, film ini dianggap sebagai film pertama yang telah melahirkan seorang bintang. Selepas Perang Dunia II sumbangan Njoo Cheong Seng sebagai pengantin baru adalah mendirikan majalah kesusastraan, yaitu Tjantik (1948) dan Tjilik Roman's (1949) tempat karyanya, seri Gagaklodra, tampil dan juga mengumumkan novel-novelnya dalam bentuk buku yang bersambung. Dua majalah tersebut juga dipergunakannya sebagai media untuk memuat cerita-cerita bersambungnya, yang kemudian dicetak ulang dalam bentuk buku.
Pengalaman yang bervariasi berkeliling ke seluruh dunia memungkinkan ia menulis sebuah novel dengan setting yang berbeda-beda baik di dalam negeri (setting Sumatra, Sulawesi, Jawa, dan Papua) maupun luar negeri (Birma, Benggali, Filipina, Kamboja, Thailand, dan Cina). Sebagaimana sudah disebutkan di muka, semua novelnya menyenangkan dan mudah dicerna. Selain menulis cerita detektif, dalam dirinya rupanya berkembang minat yang besar dalam masalah cinta dan cerita melodrama. Baginya, selama fungsi dan peran kaum perempuan menarik minatnya, ia akan berpegang pada pandangan yang konservatif.
Setelah lewat usia tiga puluhan ia mulai banyak berubah dalam memilih bacaan. Pada usia ini ia mulai membaca buku-buku pengetahuan berisi masalah-masalah kehidupan secara lebih mendalam. Ia mulai menggauli syair-syair karya Iqbal, Li Tai Po, Tu Fu, Omar khayam, Goethe, Schiller, dan Dante. Ia berharap, kalau masih diberi umur panjang akan terus menulis sampai ajal datang menjemput.
Ia menulis cerita pendek, naskah-naskah tonil (drama), dan novel-novel percintaan. Sudah tua ditilik dari umur, namun jalan pikiran tetap remaja. Ditilik dari buah penanya, falsafah adalah dasar dari seluruh karyanya. Ia dapat menyesuaikan akal budinya dengan dunia yang sudah bersalin isi dan rupa, hingga filsafat yang ianutnya tetap dapat memandang kehidupan manusia menurut kenyataan yang ada dan wajar.
Sajak pertama yang ditulisnya berjudul "Cinta" ketika ia berumur lima belas tahun. Pada penghujung umurnya (1960-an), ia turut mengembangkan bahasa Indonesia dengan sumbangan sinonimnya untuk istilah cinta, yaitu asmara. Dalam sajak "Cinta" ia lukiskan cinta sebagaimana dipandang oleh seorang penuda yang baru meningkat dewasa. Setelah berumur dua puluh tahun, ditulisnya sebuah naskah sandiwara berjudul "Yen Mei". Dalam usia ini ia mulai berpendapat, bahwa dalam cinta itu ada duri, yang kemudian dituangkannya dalam sandiwara "Mawar Berduri".
Ia terus mencari makna kehidupan untuk disampaikan kepada orang lain dengan perantaraan hasil pena dan sandiwaranya. Pencarian yang terus menerus, hingga memutih warna rambutnya. Menulis baginya adalah suatu hobi, suatu kesenangan, hiburan, bahkan menjadi suatu kewajiban. Ia akan merasa kekurangan bila berhenti menulis.
Semula Njoo Cheong Seng merasa sudah cukup lama menulis. Ia khawatir orang akan jemu membaca tulisannya. Kadang-kadang ia merasa sudah cukup tua dalam menulis. Ia tidak berani melihat ke dunia profesi tulis-menulis secara luas, dimana George Bernard Shaw menulis hingga usia 80-an. Tetapi selagi bernafas, mengapa tidak boleh melepaskan segala isi hatinya. Di usia senjanya ia jalani hidup dengan tentram, riang, dan sehat di rumahnya yang terus-menerus dihembus angin Gunung Kawi yang nyaman.
Cerpen menjadi pilihan Njoo Cheong Seng pada awal karir kepenulisannya. "Dengan menulis sama artinya kita berbicara dengan orang banyak. Bicara dengan hati tentang kehidupan, tentang alam, tentang masa lalu, dan masa yang akan datang.", demikian pendapatnya tentang pekerjaan menulis. Keluasan dan keberagaman kehidupan (true life) menjadi bahan yang tak pernah habis bagi Njoo Cheong Seng. Tujuan menulis berdasarkan realitas adalah untuk melakukan tukar pikiran (sharing). Baginya, kewajiban penulis adalah menganalisis berbagai segi permasalahan, mengkompromikan yang satu kepada yang lain, supaya antar orang perseorangan dapat bersatu, dapat berkaca di cermin melihat bentuk orang lain untuk mengenal diri sendiri.
Menurut Njoo, tak ada yang lebih menyenangkan selain menulis. Sejak 1925 hingga 1950-an ia hidup dalam perantauan, baik di kawasan Indonesia maupun Asia. Ia merasa kecewa oleh tanggapan pembaca, penerbit, dan/atau redaksi yang menganggap naskah ceritanya terlalu fantastis, sebagai tanggapan atas karya-karyanya yang berisi "keganjilan-keganjilan dari kebenaran", yang oleh pembaca dianggap hanya isapan jempol.
Njoo Cheong Seng juga aktif dalam dunia drama, pada tahun 1926 Njoo Cheong Seng meninggalkan jabatannya pada staf majalah Inter-ocean dan berkongsi dengan Tio Tik Djien, seorang Cina dari Pekalongan, mendirikan rombongan sandiwara "Miss Riboet's Orion". Perkumpulan sandiwara yang didirikan Njoo Cheong Seng—Miss Riboet Orion—adalah salah satu grup teater yang dikenal sebagai pembenih sandiwara modern Indonesia. Rombongan sandiwara ini mulai menggunakan naskah untuk diperankan di atas pentas, menggunakan panggung pementasan, serta mulai mengenal peran seseorang yang mirip sutradara (pada masa itu lazim disebut programma meester, peran ini biasanya dimainkan oleh pemimpin perkumpulan). Mereka merombak beberapa tradisi yang telah lazim pada masa stambul, bangsawan, dan opera.
Pada tahun 1932 Njoo Cheong Seng meninggalkan Miss Riboet's Orion dan bergabung dengan Dardanella. Tahun 1937 rombongan sandiwara ini bubar dan Njoo Cheong Seng bersama Fifi Young dan Henri L. Duart mendirikan Fifi Young Pagoda, yang mementaskan karya-karya Njoo Cheong Seng. Kelompok sandiwara ini banyak mementaskan karya-karya Njoo Cheong Seng, seperti "Timoeriana", "Tengkorak", "Kdiamat", "Sri Mataram", "Noesa Kambangan", "Gagaklodra", "Bentan Telani", "Sinta", "Wanita Binal", "Ida Ajoe", dan "Teeng Balah". Kelompok sandiwara ini berhubungan dengan usaha amal. Sebelum akhir perang, sekitar bulan April, Njoo Cheong Seng bersama Fifi Young, M. Alamshah, S. Tutur, Mas'ud Pandji Anom, Udjang, dan Omar Rodriga mendirikan rombongan sandiwara Pantjawarna dan menyelenggarakan pementasan pertama mereka di teater Thalia, Jakarta. Beberapa naskah sandiwara yang pernah dipentaskan teater ini adalah "Djembatan Garuda", "Ratna", "Djinak-Djinak Merpati", dan "Mirah Delima". Menurut catatan Njoo Cheong Seng pementasan kelompok sandiwara ini mendapat sambutan meriah dari penonton (lihat Claudine Salmon, 1985, halaman 173).
Njoo Cheong Seng juga aktif di bidang perfilman. Dia menyutradai beberapa filmnya, antara lain Zoebaida (1940) dibintangi oleh Soerip dan Aisah, Pantjawarna (1941) dibintangi oleh Mochtar Widjaja dan Dhalia, Air Mata Iboe (1941) dibintangi oleh RD Ismail dan Ali Yugo, Djantoeng Hati (1941) dibintangi oleh Arianti dan RR Anggraini, Masuk Kampung Keluar Kampung (1955) dibintangi oleh Iwan dan S. Poniman, Habis Hoedjan (1955) dibintangi oleh Chatir Harru dan Peggy Oetami, Kebon Binatang (1955) dibintangi oleh Chatir Harro dan Nurnaningsih.
Njoo menulis naskah sandiwara sejak usia dua puluh tahun, dengan karya-karya awalnya antara lain "Yen Mei" (Shanghai Lily), "Mawar Berduri", "Putri Mandi", dan "Sayonara Yuriko-san". Dalam pementasan drama, bagi Njoo "Penonton dapat kami manterakan .... Dengan tonil kita dapat menginsyafkan kekhilafan-kekhilafan dan keburukan hidup." Njo Cheong Seng berpendapat bahwa dewasa itu terdapat jurang pemisah yang curam antara sandiwara dengan penontonnya. Ada beberapa seni tonil yang masih terlalu abstrak untuk dapat diterima oleh umum. Hal ini terjadi karena penyelenggara ingin membawa penonton secara cepat-cepat dalam menghargai pertunjukan yang bermutu tinggi. Claudine Salmon mencatat karya Njoo Cheong Seng lebih dari 130-an judul. Berikut beberapa karyanya yang sangat terkenal. Cerita bersambung (feuilleton) pertamanya dalam Sin Po "Penghidupan Manusia" (1921b). Novel Raden Ajeng Moerhia: Peringetan Medan 1929—33 (1934), Tofan (1939), Tjinggalabi Aoeah: Papoeasche zeden roman (1935), Timoeriana (1941), Battalion Setan (1938), Nona Olanda s'bagi Istri Tionghoa (1925), Batavia 1619 (1932), Bidadari Binal (1950), Taufan Gila (1950), Manusia Sempurna Yang Tidak Sempurna (1950). Cerita detektif, Shanghai waktoe malem, satoe tjerita politie rahsia di Tiongkok (1924), Gagaklodra 1930—1952 (1953). Karya drama, Malang Mignon (1951), Sayonara Yuriko San (1961), dan Sujata (1961).