Nasjah Djamin, seorang novelis, dilahirkan di Perbaungan, Sumatra Utara, 24 September 1924 dan meninggal di Yogyakarta, 4 September 1997. Ia anak ketujuh dari delapan bersaudara yang mempunyai nama asli Noeralamsyah. Kedua orang tuanya berasal dari Minangkabau, Sumatra Barat. Ayahnya bernama Haji Djamin, dan ibunya bernama Siti Sini. Selama hidupnya, Nasjah Djamin menetap di Yogyakarta bersama istrinya, Umi Naftiah yang dinikahinya pada tahun 1967 dan anak-anaknya, yaitu Mega Purnama, Ayu Pusparini, Lai latifah, dan Yeni Meinita.
Pendidikan Nasjah hanya sampai di tingkat MULO (sekarang SMP) pada zaman Belanda di Medan. Nasjah Djamin dan keluarganya saat itu tinggal di Medan. Pendidikannya terhenti saat Jepang menjajah Indonesia. Kondisi saat itu tidak memungkinkan Nasjah Djamin untuk melanjutkan sekolahnya. Karena tidak bersekolah lagi, ia bekerja. Dalam kondisi yang kacau, ia mengikuti sayembara poster perang dengan semboyan "Asia untuk Asia" yang diadakan penjajah Jepang. Nasjah Djamin meraih hadiah pertama dengan imbalan satu karung beras, satu bal bahan celana, sebuah topi vilt, berikut piala dan piagam. Kemenangan tersebut merupakan jalan bagi Nasjah Djamin untuk bekerja di kantor Bunka-ka di bagian Senden-bu sebagai tukang gambar, pelukis poster, dan pembuat komik.
Pada tahun 1946 ia masuk sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM). Di tahun itu pula, Nasjah turut membidani kelahiran perkumpulan pelukis di Medan yang bernama "Angkatan Seni Rupa Indonesia". Selain itu, Nasjah juga membidani lahirnya "Gabungan Pelukis Indonesia di Jakarta" (1949). Di Medan pula untuk pertama kalinya, ia menggelar karya lukisnya pada Pameran Seni Lukis Indonesia. Kariernya di bidang seni lukis semakin mantap setelah ia mempelajari art & setting untuk pentas, film, dan televisi di Tokyo, Jepang pada tahun 1960—1965.
Nasjah kemudian berangkat ke Jawa bersama Sam Suharto (mantan wartawan Indonesia Raya) dan Daoed Joesoef (mantan Mendikbud). Sesampainya di Jakarta, Nasjah kemudian bekerja sebagai ilustrator buku di Balai Pustaka dan sempat berkenalan dengan para redaktur dan sastrawan. Dia bekerja bersama Wakijan dengan bimbingan pelukis Baharudin M.S. Selain itu, Nasjah juga berkenalan dengan H.B.Jassin dan Sitor Situmorang. Pergaulannya itu kemudian menjadikan Nasjah mengenal dunia sastra dan untuk selanjutnya berhasil menjadikan Nasjah sebagai salah satu sastrawan besar Indonesia. Nasjah berhasil menulis cerita anak Si Pai Bengal dan Hang Tuah yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1952.
Namun, perjalanan Nasjah Djamin tidak berhenti di Jakarta. Dia bersama teman-temannya melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Di kota inilah Nasjah bertemu dengan dedengkot seni rupa, S. Sudjojono, Affandi, dan Hendra. Dia kemudian bergabung dengan seniman-seniman lain yang di kemudian hari dikenal sebagai "seniman Malioboro".
Kreativitasnya dalam bidang sastra mulai berkembang pada tahun 1955 ketika ia bekerja di Kantor Bagian Kesenian Departemen P dan K di Yogyakarta (1952—1980). Saat itu ia juga menjadi anggota redaksi majalah Budaya (1953--1962) yang merupakan satu-satunya majalah kebudayaan umum (di luar Basis) yang terbit di Yogyakarta.
Karya-karya Nasjah Djamin sebagian besar pertama-tama dimuat di majalah Minggu Pagi seperti novel Hilanglah si Anak Hilang dan Gairah untuk Hidup dan untuk Mati. Kumpulan cerita pendeknya Di Bawah Kaki Pak Dirman juga pernah dipublikasikan di majalah ini.
Pada tahun 1956 terbit dramanya Titik-Titik Hitam. Drama ini kemudian mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN (1957/1958). Drama kedua yang ditulisnya berjudul Sekelumit Nyanyian Sunda memenangkan Hadiah Ketiga Sayembara Penulisan Drama Bagian Kesenian Departemen P dan K 1958, dan terbit tahun 1958 itu juga. Setelah itu ia menulis drama "Jembatan Gondolayu" (1959) yang kemudian masuk dalam kumpulan drama Sekelumit Nyanyian Sunda (1964). Selanjutnya, ia semakin rajin menulis cerita pendek dan novel yang kemudian diterbitkannya menjadi buku.
Kumpulan cerita pendeknya, antara lain adalah Di Bawah Kaki Pak Dirman (1967), Sebuah Perkawinan (1974) memperoleh apresiasi yang cukup luas. Novelnya, antara lain adalah Hilanglah si Anak Hilang (1963), diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis menjadi Le Depart de ('Enfant Pradigue,1975), Helai-Helai Sakura Gugur (1964), Malam Kuala Lumpur (1968), Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1968, mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Yang Ketemu di Jalan (1981), Dan Senja pun Turun (1982), Ombak Parangtritis (1983), mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K (1983); Tresna Atas Tresna (1983), Bukit Harapan (1984, pemenang Sayembara Mengarang Roman DKJ, 1980); Tiga Puntung Rokok (1985), Ombak dan Pasir (1988); dan Ibu (1988). Ia juga menulis sebuah biografi Hari-Hari Akhir si Penyair (1982) tentang Chairil Anwar.
Beberapa ahli menyatakan bahwa karya-karya Nasjah Djamin beraliran eksistensialisme. Di dalam karya-karya Nasjah Djamin akan ditemukan tokoh-tokoh yang "keras hati", "angkuh", "keras kepala", dan sulit mengubah pendirian. Hidup tak menentu demi kemerdekaan pribadi itulah ciri tokoh-tokoh yang muncul di dalam karya-karya Nasjah sebagaimana disampaikan oleh H.B. Jassin (1983). Selanjutnya, ada satu keistimewaan Nasjah Djamin, yakni sekalipun novel-novelnya menggambarkan pelampiasan nafsu kelamin, tidak sesaat pun ia menimbulkan sugesti yang menggugah syahwat pembaca. (1983).