Muhammad Dimyati, seorang sastrawan beraliran realis yang produktif pada tahun 1950-an lahir pada tanggal 14 Juni 1913 di Tegalsari, Surakarta, Jawa Tengah dan meninggal dunia pada tanggal 8 Desember 1958. Dia dilahirkan dalam kalangan Islam. Tendensi keislaman selalu dimasukkannya ke dalam novel dan cerita pendeknya. Dia menikah dengan seorang gadis Solo. Dari perkawinannya itu, Muhammad Dimyati mendapat enam orang anak.
Nama samaran yang dipakai oleh Muhammad Dimyati adalah Badaruzaman, S. Muslimah, Lamdahoer, Zubaidah, Md. D., Md. Yati, Moch. Dimyathie S.M., Penulis X, Ab. Anwar, Abu Ubaidah, M. Usman J., Semprul, Emde, M. Dien Yatim, dan Djoko Kelono.
Muhammad Dimyati masuk Sekolah Rakyat dan juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah di Tegalsari sampai berumur sekitar 9 tahun. Ketika berumur 11 tahun Muhammad Dimyati menderita sakit panas (sakit malaria) yang hebat. Setelah sembuh dari sakit ia, tidak dapat mendengar lagi. Sejak itu, ia berhenti bersekolah. Dia belajar sendiri di rumah dengan membaca buku-buku (autodidak).
Muhammad Dimyati mulai menjadi seorang wartawan muda pada tahun 1930 dan menjadi penulis berita pada beberapa surat kabar. Dia bekerja sebagai pembantu surat kabar Adil di Solo hingga tahun 1938, pengasuh tetap rubrik "Pemandangan Sepintas Lalu", "Filsafat Pojok", dan "Pandangan Luar dan Dalam Negeri" di surat kabar tersebut. Baru pada tahun 1939 Muhammad Dimyati menjadi anggota redaksi surat kabar Adil hingga tanggal 1 Maret 1942 (saat jatuhnya Indonesia ke tangan Jepang).
Selama pendudukan Jepang, Muhammad Dimyati tidak aktif dalam kewartawanan. Setelah Indonesia merdeka (1 Oktober 1945—1948), Muhammad Dimyati mulai bekerja kembali sebagai staf redaksi surat kabar harian Merah Putih di Solo. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) Muhammad Dimyati tidak bekerja sebagai wartawan, tetapi ia menulis artikel dan cerita pendek di berbagai surat kabar dan majalah antara lain Mimbar Indonesia, Siasat, dan Indonesia.
Dalam buku Soebagio I.N. mengemukakan ihwal keistimewaan yang terdapat pada diri Muhammad Dimyati. Salah satu di antaranya ialah bahwa kendati ia tidak pernah mendengar suara lagu-lagu dari pesawat radio, ia berhasil menciptakan sebuah roman yang dimuat di majalah Adil mengenai seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang penyanyi di radio. Keistimewaan lain yang dimilikinya adalah kendati ia secara lahiriah cacat, ia bersama dengan rekan-rekan wartawan Indonesia lainnya mengikuti perundingan Indonesia-Belanda yang diadakan di Kaliurang, Yogyakarta waktu itu. Muhammad Dimyati ikut berusaha menangkap isi pembicaraan dengan melihat gerak bibir mereka yang sedang bicara. Juga di Surabaya, ketika diadakan Kongres Persatuan Wartawan Indonesia di sekitar tahun 1950-an, ia pun menyempatkan hadir pula di kantor Penyebar Semangat di Gedung GNI, Bubutan, sekadar menyambung silaturahmi.
Karya-karya Muhammad Dimyati yang berbentuk novel, antara lain, adalah (1) Anak Jatim. Bandung, Pustaka Islam (1933), (2) Nurani, Solo, (1935), (3) Siti Noerdjanah, Solo, (1935), (4) Student Sulaeman, Solo, (1935), (5) Ramona, Bukittinggi. Penyajian Ilmu Fort de Kock (1940), (6) Dalam Gelombang Perkawinan, Medan (1941), (7) Dibalik Tabir Radio, Sigli, Boekhandel Sinar, Tapanuli (1941), (8) Ditepi Bengawan Solo, Jakarta: Gapura (1950), (9) Djokja Diduduki, Jakarta: Gapura (1950), (10) Pengalaman di Rumah Sukesi, Jakarta: Gapura (1950), (11) Pengorbanan dan Kebaktian, karya bersama Dali Mutiara, Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan (12) dan Antara Hidup dan Mati.
Beberapa Kumpulan Cerita Pendek karya Muhammad Dimyati adalah (1) Lukisan Pancaroba (kumpulan cerpen 1), Medan: Cerdas (1950), (2) Gema Revolusi (Kumpulan Cerpen), Tebingtinggi-Deli: Pustaka Maju (1950), dan (3) Manusia dan Peristiwa (kumpulan cerpen), Jakarta: Balai Pustaka (1957). Beberapa cerita pendek lepas karya Muhammad Dimyati adalah (1) "Diiris Sedih" dalam Adil, V/27, 17 Desember 1936, (2) "Korban ...?" dalam Adil, No. 46, 20 April 1938, (3) "Pengalaman dalam Boelan Poeasa" Al Fatch, 20 September 1940, (4) "Koerban Sekaten" Al Fatch, 25 April 1941, (5) "Kebakaran Dimalam Lebaran" 22 November 1941, (6) "Korban yang Gagal" Al Fatch, 25 Desember 1941, (7) "Kisah tidak Bernama" No1--6, Harian Patriot, Desember 1946—November 1954, (8) "Pahlawan Indonesia" Pantjaraja, II/7, 15 Februari 1947, (9) "Kalau Hidoep di Desa" Pantjaraja, II/13, 15 Mei 1947, (10) "Terbenam di Pasar Kelewer" Majalah Indonesia III/50, 10 Desember 1949, (11) "Harta", Majalah Indonesia IV/12, 17 Juni 1947, (12) "Menjeberang" Majalah Indonesia IV/47, 1 Oktober 1950, (13) "Palang Pintoe Djalan Malioboro" Majalah Indonesia V/3, 20 Januari 1951, (14) "Togog" Majalah Indonesia II/3, Maret 1951, (15) "Dimasa" Majalah Indonesia V/32, Maret 1951, (16) "Kehilafan Pertama" Majalah Indonesia V/42, 20 Oktober 1951, (17) "Lebaran di Kampoeng" Majalah Indonesia VI/25, 21 Juni 1952, (18) "Bila Kereta Api Lalu" Majalah Indonesia VI/38, 20 September 1952, dan (19) "Kerikatur" Majalah Indonesia, 9 Oktober 1952.
Kumpulan Cerpen Manusia dan Peristiwa telah dicetak dalam bahasa Rusia. Novel Anak Jatim ditarik dari peredaran karena isinya dianggap antikapitalis dan antiimperialisme. Novel Ramona pernah menjadi juara pertama dalam lomba mengarang roman pergaulan yang diadakan oleh penyiaran Ilmu Fort de Kock. Novel Dibalik Tabir Radio juga mendapat juara pertama dalam lomba mengarang yang diadakan oleh majalah Raja, Padang, tahun 1941.
H.B. Jassin memasukkan nama Muhammad Dimyati dalam deretan nama pengarang Islam. Selain menulis karya sastra (sajak, cerpen, dan novel) M. Dimyati menulis beberapa artikel kesastraan yang antara lain, mengemukakan konsepnya tentang sastra Islam pada tahun 1930-an dan awal tahun 1940-an. Atas dasar itu, tampaknya H.B. Jassin memasukkan Muhammad Dimyati dalam deretan nama pengarang Islam. Tambahan lagi, Muhammad Dimyati banyak menulis di media massa Islam.