| ![](multimedia/images/Pengarang-R_M_TIRTO_ADHI_SOERJO.png) |
R.M. Tirto Adhi Soerjo kadang-kadang ditulis dengan cara Raden Mas Tirtohadisoerjo, dilahirkan di Blora pada tahun 1880 dan meninggal pada tahun 1918. Sebelumnya ia bernama R.M. Djokomono, mantan murid Stovia yang pada saat itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian berganti nama menjadi Berita Betawi), lalu memimpin Medan Prijaji yang berkantor di Bandung. Gaya kewartawanan dan metode jurnalistik yang diterapkan oleh R.M. Tirtohadisoerjo mengikuti metode T. Pangemanan dan Razoux Kuhr. Sebagai surat kabar pertama yang bersuara nasional, di dalam surat kabar ini sering muncul kritik-kritik yang ditulis sendiri oleh R.M. Tirto Adhi Soerjo. Yang menarik adalah bahwa tulisan-tulisan kritik tersebut ditulis oleh R.M. Tirto Adhi Soerjo dalam bentuk cerita pendek. Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Di bawah kepala surat kabar Medan Prijaji tertulis "orgaan boeat bangsa jang terperintah di Hinia Olanda, tempat memboeka soearanja". Moto yang disampaikan oleh Tirtohadisoerjo pada masa itu sudah dianggap radikal. Bandingkan dengan moto yang digunakan surat kabar lain, Sinar Sumatra "Kekallah keradjaan Wolanda, sampai mati setia kepada keradjaan Wolanda". Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah "pribumi" 'Indonesia asli'. Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903—1905), Medan Prijaji (1907—1912) dan Putri Hindia (1908). Akhirnya, Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara).
Peran Tirto Adhi Soerjo dalam dunia pergerakan terlihat dalam kiprahnya saat pendirian Serikat Dagang Islam yang didirikannya pada tahun 1911 di Bogor. Dalam rangka memperkenalkan ide-idenya untuk memajukan perdagangan bumiputera, Tirto Adhi Soerjo datang ke Surakarta dan di sini ia bertemu dengan Haji Samanhudi, seorang pengusaha batik di kampung Laweyan. Sarekat Dagang Islam diubah menjadi Sarekat Islam setelah Tjokroaminoto masuk dalam organisasi tersebut atas ajakan H. Samanhudi. Takashi Shiraishi dalam buku Zaman Bergerak menyebut Tirto Adhi Soerjo sebagai orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa dengan bahasanya melalui Medan Prijaji.
Sebagai seorang wartawan ia adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia. Dia juga dikenal sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S.
Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto ddiangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula. Pramoedya membentuk tokoh rekaan historis dalam novel tetraloginya. Minke tampaknya merupakan perwujudan R.M. Tirto Adhi Soerjo, bapak kewartawanan berbahasa Melayu di Jawa dan perintis pergerakan yang telah menumbuhkan Syarikat Priyayi dalam tahun 1906. Berhubungan dengan ini, dapat dikatakan bahwa, walaupun ada banyak kemiripan antara watak utama Minke dan R. M. Tirto Adhi Soerjo, mereka tidak keseluruhannya identik. Pramoedya sendiri menegaskan bahwa novel-novelnya tetap harus dibaca sebagai karya fiksi, bukan sebagai buku sejarah (dalam wawancara 17 Juni 1991). Oleh sebab itu, tokoh utama dalam tetralogi ini bukan Tirto, melainkan Minke sebagai seorang tokoh buatan yang bersumberkan sejarah. Mengenai pengambilan tokoh Tirto, ia menjelaskan sebagai berikut. "R. M. Tirto bukan saya maksudkan ditampilkan sebagai hero, tapi sebagai individu yang telah melepaskan diri dari kebersamaan tradisional, yang berabad lamanya jadi penghambat progres. Ini nilai kultural yang telah dicapai oleh R. M. Tirto (surat kepada Marjanne Termorshuizen Arts, 6 Feb. 1987)."
Awal munculnya sastra Indonesia ditandai oleh hadirnya beberapa penulis Tionghoa peranakan dan penulis Indo Belanda, seperti H. Kommer dan Pangemanan. Babak kedua dilanjutkan oleh bacaan-bacaan yang ditulis oleh orang bumiputra sendiri pada awal abad ke-20. Yang menarik dari perkembangan produksi bacaan yang dilahirkan oleh orang-orang bumiputra adalah penggunaan bahasa "Melayu Pasar" yang rupanya juga mengikuti para pendahulunya, golongan Indo dan Tionghoa peranakan. Bahasa "Melayu Pasar" adalah bahasa para pedagang dan kaum buruh yang tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah dengan pengajaran bahasa Melayu yang baik. Selain itu, bacaan-bacaan yang ditulis dalam bahasa Melayu Pasar mempergunakan bahasa lisan sehari-sehari yang terasa lebih spontan, kadang-kadang lebih hidup, dan lebih bebas dari ikatan tatabahasa. Perkembangan produk bacaan bumiputra sangat didukung dengan berkembangnya industri pers yang mulai tumbuh pada awal abad ke-20.
Golongan bumiputra yang bisa disebut perintis fiksi modern adalah R.M. Tirto Adhi Soerjo. Karyanya adalah Doenia Pertjintaan 101 Tjerita jang soenggoe terjadi di Tanah Priangan diterbitkan pada tahun 1906. Kemudian disusul dengan Tjerita Njai Ratna, terbit tahun 1909, Membeli Bini Orang, terbit pada tahun yang sama, dan Busono terbit tahun 1912. Tulisan-tulisan nonfiksi R.M. Tirtohadisoerjo, atau lebih tepat tulisan politiknya adalah "Gerakan Bangsa Tjina di Soerabaja melawan Handelsvereniging Amsterdam" yang dimuat dalam Soenda Berita pada tahun 1904; "Bangsa Tjina di Priangan" dimuat dalam media yang sama pada tahun 1904; "Peladjaran Boeat Perempoean Boemipoetera" yang juga dimuat dalam media yang sama dan tahun yang sama; "Soeratnja Orang-Orang Bapangan", dimuat dalam Medan Prijaji (MP), tahun 1909; "Persdelict: Umpatan", diumumkan dalam MP tahun 1909, "Satoe Politik di Banjumas", disiarkan di MP tahun 1909; "Drijfusiana di Madioen" dimuat di MP tahun 1909; "Kekedjaman di Banten" dimuat di MP tahun 1909; "Omong-Omong di Hari Lebaran", disiarkan di MP tahun 1909; "Apa jang Gubermen Kata dan Apa jang Gubermen Bikin" dimuat di MP tahun 1910 dan "Oleh-Oleh dari Tempat Pemboeangan" yang pertama kali disiarkan di harian Perniagaan dan diumumkan kembali di MP tahun 1910.
R.M. Tirto Adhi Soerjo adalah seorang pelopor pergerakan nasional yang menyusun bacaan-bacaan fiksi dan non-fiksi yang telah mendorong beberapa tokoh pergerakan seperti Mas Marco Kartodikromo, Soewardi Soerjaningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, Semaoen, Darsono dan lainnya untuk melakukan hal yang sama. Mereka menghasilkan bacaan-bacaan populer yang terutama ditujukan untuk mendidik bumiputra yang miskin. Bacaan-bacaan yang mereka hasilkan merupakan ajakan untuk mengobati badan bangsanya yang sakit karena kemiskinan, juga jiwanya karena kemiskinan yang lain, kemiskinan ilmu dan pengetahuan. Penyebaran gagasan dalam bentuk bacaan politik tersebut berkenaan dengan konsep pergerakan, sebagaimana ditegaskan oleh Marco pada tahun 1918.
Tirto Adhi Soerjo juga sangat peduli dengan dunia usaha. Dia merupakan orang bumiputra yang mempunyai rumah cetaknya sendiri. Rumah cetak tersebut diusahakannya dengan cara bekerja sama dengan Hadji Moehammad Arsjad dan Pangeran Oesman--NV Javaanche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfboeten Medan Prijaji, yang kemudian disusul dengan berdirinya rumah cetak Insulinde yang sebagian besar dananya disokong oleh H.M. Misbach. Rumah cetak Insulinde ini, antara lain, menerbitkan Mata-Gelap-nya Marco.
Sebagai seorang penulis, R.M. Tirto Adhi Soerjo dikenal dengan tulisannya yang sering disebut sebagai bacaan politik yang kemudian di dalam dunia sastra disebut sebagai "bacaan liar". Dia adalah orang yang pertama kali merintis perlunya bacaan bagi rakyat Hinia yang tidak terdidik. Dia memulainya dengan menerbitkan artikel "Boycott" di surat kabar Medan Prijaji. Artikel "Boycott" dijadikannya senjata bagi orang-orang lemah untuk melawan para pemilik perusahaan gula. Tindakan boikot pertama kali dilakukan oleh orang-orang Tionghoa terhadap perusahaan-perusahaan Eropa, yang menolak permintaan mereka untuk memperoleh barang. Tindakan para pengusaha Eropa ini dibalas oleh orang-orang Tionghoa dengan memboikot produk perusahaan-perusahaan Eropa sehingga hampir sekitar 24 perusahaan Eropa di Surabaya gulung tikar.
Makna dan nilai artikel "Boycott" ini sangat penting bagi produk penulisan bacaan yang menentang kediktatoran kolonial di masa selanjutnya. Artikel ini merupakan pendorong bagi orang bumiputra lainnya karena Tirto Adhi Soerjo menyadarkan bahwa bacaan-bacaan politik sangat diperlukan untuk membuka mata dan daya kritis orang bumiputra yang selama itu dikungkung oleh cerita-cerita kolonial.
Gaya penulisan bacaan politik yang dipelopori oleh Tirto kemudian diikuti oleh para pemimpin pergerakan lainnya, seperti Mas Marco Kartodikromo dan Tjipto Mangoenkoesoemo, yang sama-sama perintis jurnalis dan sama-sama kukuh memegang prinsip pergerakan sekalipun keduanya berbeda dalam memandang pergerakan. Dalam majalah Tempo, Mei 2008, disebutkan bahwa pada 7 Desember 2007 buyutnya R.M. Tirto Adhi Soerjo (artis Dewi Yull) menerima kenang-kenangan Panitia Seabad Pers Kebangsaan. Cendera mata tersebut berupa poster R.M. Tirtohadisoerjo yang menegaskan perannya di kancah pergerakan nasional Indonesia.