Rivai Apin terkenal sebagai penyair angkatan '45 yang lahir di Padangpanjang, 30 Agustus 1927 dan meninggal di Jakarta, April 1995 dalam keadaan masih membujang. Orang tuanya bernama Moh. Apin dan Siti Khamelah. Rivai Apin anak ketiga dari lima bersaudara, yakni Mochtar Apin (pelukis), Azwar Apin (penerbang), Rivai Apin, Yuliar Apin, dan Safrial Apin.
Rivai Apin dikenal sebagai tiga serangkai penyair Indonesia yang pernah menyemarakkan dunia perpuisian Indonesia melalui kumpulan puisi bersama Tiga Menguak Takdir. Ketiga penguak takdir itu, selain Rivai Apin adalah Chairil Anwar dan Asrul Sani.
Rivai Apin pernah menjadi redaktur beberapa majalah kebudayaan, antara lain Gema Suasana, Siasat, Zenith, dan Zaman. Dia juga pernah menjadi anggota KNIP, DPRD DKI Jakarta, dan Pimpinan Pusat Lekra (1959—1965). Setelah G30-S/PKI ia ikut ditahan dan baru dibebaskan pada akhir 1979.
Karya-karyanya dimuat dalam Gema Tanah Air (1948, ed. H.B. Jassin), Tiga Menguak Takdir (1950), Puisi-puisi Rivai Apin sendiri telah dikumpulkan oleh Harry Aveling dengan judul Dari Dua Dunia yang Belum Sudah (1972). Menurut Harry Aveling, sebagai penyair Rivai Apin telah menulis sajak yang dapat dikelompokkan ke dalam aliran persajakan Indonesia ala Chairil Anwar yang ditandai dengan kemurungan, keresahan, dan kesepian dalam pengucapannya. Lebih lanjut dinyatakan oleh Aveling bahwa kepengarangan Rivai Apin ditandai oleh beberapa fase perkembangan, yakni fase pertama ditandai oleh imaji laut dengan sifat kegagahan dan keberanian kaum lelaki. Laut merupakan sebuah tempat yang penuh dengan teka-teki. Sementara itu, pantai merupakan daerah perantara daratan dengan laut. Fase kedua ditandai oleh imaji yang lebih sempit, tetapi masih memakai imaji laut. Laut dan pantai melambangkan tenaga hidup, dan batu-batuan melambangkan kekalahan. Fase ketiga ditandai oleh imaji padang tandus (lihat Harry Aveling dalam Rumah Sastra Indonesia, 2002:71—73).