| |
Nama penulis ini sering ditulis dengan "Slamet Kirnanto". Penyair ini lahir di Solo pada 3 Maret 1941. Slamet Sukirnanto kawin dengan Siti Balkis dari Minang dan dikaruniai 3 putra dan 3 putri, yakni Wisnu Broto, Fajar Sidiq, Suhirmanto, Laria Wahyuni, Sri Tuti Handayani, dan Aprini Wulandari. Pendidikan terakhir yang sempat dikenyamnya adalah Jurusan Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tetapi tidak sampai selesai. Ia termasuk salah seorang aktivis dalam aksi-aksi demontrasi dalam menumbangkan Orde Lama pada sekitar tahun 1966. Sebagai aktivis, Slamet Sukirnanto sempat menjabat Ketua Presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Pusat, mewakili DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Dalam bidang politik, jabatan yang sempat digenggamnya adalah sebagai anggota DPRGR/MPRS mewakili mahasiswa selama periode 1967—1971). Sebagai penulis, ia juga bergerak dalam dunia jurnalistik, prestasinya yaitu menjadi redaktur-tamu "ruang kebudayaan" harian sore Sinar Harapan Jakarta (1972—1973). Dalam organisasi kesenian, ia juga menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), anggota Badan Sensor Film (BSF) selama periode 1978—1984, dan sebagai anggota DPP KNPI selama 1978—1981. Dia menjadi anggota Bakom Persatuan dan Kesatuan Bangsa DKI Jakarta yang bergerak dalam kegiatan membina kesatuan dengan kelompok Tionghoa.
Sebagai penulis yang melibatkan diri dalam masalah-masalah aktual untuk masanya, tahun 1974 Slamet Sukirnanto bertindak sebagai Jaksa Penuntut dalam acara "Pengadilan Puisi" di Bandung. Acara yang hendak "mengadili" Puisi Indonesia mutakhir masa itu, sesungguhnya bisa dianggap sebagai dagelan (seloroh). Moment tersebut bermaksud menghujat dominasi para penulis mapan yang menguasai media masa penyiaran hasil karya sastra serta tidak memberikan kesempatan kepada penulis lain/muda. Pada intinya dalam kertas kerjanya Slamet Sukirnanto menuntut agar: (1) Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan Puisi Mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, harus dipensiunkan dari peranan yang pernah mereka miliki, (2) Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono), dicutibesarkan, (3) Para penyair established (mapan) seperti Subagio Sastrowardojo, Rendra, dan Goenawan Mohamad dilarang menulis puisi lagi dan para epigonnya harus dikenakan hukuman pembuangan dan bagi para inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil, (4) Horison dan Budaja Djaja harus dicabut SIT-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Kedua majalah itu dilarang dibaca oleh para peminat sastra dan masyarakat umum, sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra/puisi yang kita harapkan sehat dan wajar.
Selain menulis sajak, Slamet Sukirnanto pun menulis kritik, esei, serta tulisan lainnya. Kumpulan sajaknya berjudul "Jaket Kuning" (1967) yang ditulis dalam suasana aksi demontrasi menentang Orde Lama sekitar 1966, semula dicetak dalam bentuk stensilan. Masih dalam suasana yang sama pula, kumpulan sajak tersebut terbit oleh Balai Pustaka pada tahun 1967. Kumpulan sajaknya yang lain adalah Kidung Putih (1967), Gema Otak Terbanting (1974), Bunga Batu (1979), Catatan Suasana (1982), Luka Bunga (1992), Gergaji (2001), dan Perjalanan Pulang (2003). Buku-buku tersebut diterbitkan oleh Balai Pustaka. Bersama Ikranagara dan Wahyu Sihombing ia menjadi editor buku Pertemuan Teater (kumpulan esei, 1980). Bersama Taufiq Ismail dan Sutardji Calzoum Bachri, ia menjadi editor buku Mimbar Penyair Abad 21 (1996). Sejak tahun 1999 ia menjadi Anggota Mastera Indonesia hingga 2004.