Selasih terkenal sebagai seorang novelis, cerpenis, dan penyair. Nama aslinya adalah Sardiamin Ismail. Nama samarannya cukup banyak, selain Selasih, ia kadang-kadang memakai nama Seleguri, Seri Gunung, Seri Tanjung, Dahlia, Ibu Sejati, Seri Gunting, Bunda Kandung, Mande Rubiah, dan Kak Sarinah. Dia dilahirkan di Talu, Pasaman, Sumatra Barat, 12 Juli 1909 dan meninggal dunia di Pekanbaru, Jumat, 15 Desember 1995. Orang tuanya bernama Laur Datuk Rajo Melintang. Orang tua Selasih, selain dikenal sebagai petani juga bekerja sebagai pemborong (waktu itu biasa disebut andama) kayu-kayu perumahan.
Selasih, pada masa kecilnya diberi nama oleh orang tuanya Basariah, tetapi sering sakit-sakitan. Oleh sebab itu, nama Basariah diganti dengan nama Sari Amin--kedua kata dipisahkan. Namun, Selasih menggabungkan kedua kata itu menjadi satu, yaitu Sardiamin; tambahan Ismail adalah nama suaminya. Selasih menikah pada tahun 1941 dengan Ismail yang pada waktu itu bekerja sebagai seorang pokrol atau pembela perkara di landraad. Selasih memperoleh dua orang putri dan empat cucu. Anak Selasih bernama Suhartini dan Suryahati.
Pendidikan terakhir Selasih adalah Meisjes Normaalschool (Sekolah Guru Perempuan). Pendidikan ini dijalaninya di Padang Panjang tahun 1921—1925. Pada masa penjajahan Jepang, Selasih mengikuti Sekolah Tinggi Pendidikan zaman Jepang atau Jo Kien Sihan Gakkon sekitar tahun 1943—1944 di Padang Panjang. Dia juga pernah mengikuti pendidikan di sekolah Samilussalam kepunyaan Ja'afar Jambek di Bukit Tinggi. Sekolah ini menjadikan Selasih dekat dengan agama Islam dan kemudian menjadi pengurus organisasi Islam yang aktif.
Setelah menikah, Sardiamin mengikuti suaminya ke Teluk Kuantan dan menjadi guru di Schahelschool milik Kuantan Institut. Pada zaman kemerdekaan Sardiamin mengajar di sebuah kursus guru dan SMP. Tahun 1946 Sardiamin menjadi Kepala Sekolah Rumah Tangga milik Perwari. Selanjutnya, tahun 1948 ia mengajar SMP sebab Sekolah Rumah Tangga milik Perwari itu dijadikan SKP dan disatukan dengan SMP. Tahun 1952 ia mulai mengajar di SMA Setia Darma. Baru kemudian pada tahun 1955 ia ddiangkat menjadi guru honorer di SMA negeri dan akhirnya pada tahun 1956 ddiangkat menjadi guru tetap sampai pensiun tahun 1968.
Selasih adalah seorang perempuan yang sangat aktif. Selain menjalani profesi utamanya sebagai guru (di Bengkulu dan Bukittinggi) ia juga aktif dalam berbagai organisasi sosial dan politik, misalnya sebagai Sekretaris Serikat Dagang Bengkulu, Ketua Jong Islamieten Bond Dames Afdeling Cabang Bukittinggi (1928—1930), anggota DPRD Riau (1947—1948). Bahkan, sampai usianya yang telah lanjut, Selasih masih aktif dalam bidang organisasi seperti Pengurus Persatuan Wredatama Republik Indonesia, Pengurus Ikatan Keluarga Sumatra Barat, dan Pengurus Wanita Islam.
Karya-karya Selasih berbentuk cerpen, puisi, novel, dan berbagai artikel. Novel- novel yang ditulisnya adalah Kalau Tak Untung (1933), Pengaruh Keadaan (1937), Kembali ke Pangkuan Ayah (1982), dan Musibah Membawa Bahagia (1986). Puisi- puisinya masuk ke dalam kumpulan Puisi Baru (1946, Sutan Takdir Alisjahbana, ed.), Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979, Toeti Herawati, ed.), Tonggak 1 (1987, Linus Suryadi AG, ed.), Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (Korrie Layun Rampan, ed.). Cerita remaja dan cerita anak, yaitu Panca Juara (1981), Nakhoda Lancang (1982), Cerita Kak Murai (1984), Sutan Tumanggung Nan Rancak di Labuah (1983), Bujang Pdiaman Jo Puti Payuang Lauik (1983), Puti Mambang Lauik (1984), Rangkiang Luluih (1985), Cerito Kukuak Kekek (1985), Ngalau Kamang (1986), Rantak si Gadih Ranti (1986), Malatuihnyo Gunung Tujuah (1987).
Selasih sudah menjadi pengurus organisasi pada saat usianya masih sangat muda, yaitu sekitar 14 tahun. Pada tahun 1925 ia menjadi Sekretaris Serikat Dagang Bengkulu bagian kaum Ibu. Tahun 1927 ia menjadi Sekretaris Serikat Kaum Ibu Lubuk Sikaping. Setelah beberapa kali menjadi sekretaris, berikutnya Selasih pun menjadi ketua sebuah organisasi, yaitu ketua Jong Islamiten Bond Dames Afdeling (JIBDA) pada tahun 1928 di Bukittinggi. Di samping sebagai seorang guru, aktif sebagai pengurus Persatuan Guru Indonesia di Bukittinggi. Organisasi lain yang juga diikutinya adalah Serikat Kaum Ibu Sumatra (SKIS). Dalam organisasi ini, Selasih duduk sebagai sekretaris. Sewaktu ia pindah ke Padang Panjang, Selasih menjadi ketua SKIS Cabang Padang Panjang juga menjadi pengurus Persatuan Guru Indonesia (PGI) Padang serta pengurus Persatuan Normaalschool di Padang Panjang. Tahun 1937 Selasih ddiangkat menjadi Gawestelyleister NPS seluruh Sumatra Barat/pengawas daerah sampai tahun 1942. Selanjutnya, ketika pindah ke Payakumbuh di tahun 1939, Selasih juga menjadi ketua SKIS Cabang Payakumbuh dan pengurus PGI.
Selasih adalah seorang pengarang wanita pertama yang dapat menembus Balai Pustaka. Berbagai macam komentar dan ulasan muncul untuk mengomentari Selasih. Ajip Rosidi menguraikan bahwa tidak ada seorang pun penyair wanita yang menerbitkan kumpulan sajaknya pada masa sebelum perang. Betapa pun besarnya kehendak untuk berbincang panjang mengenai puisi yang ditulis oleh para penyair wanita, bahan-bahan yang ada membuktikan bahwa hal itu tidak mungkin. Beberapa nama pernah muncul dalam berbagai majalah, tetapi tidak cukup berarti untuk dibicarakan secara khusus. Yang paling berarti ialah Sardiamin yang sering mempergunakan Selasih, Seleguri, dan lain-lain, yang lebih terkenal karena romannya Kalau Tak Untung (1933), dan Pengaruh Keadaan (1937). Beberapa sajaknya dimuat juga oleh Sutan Takdir dalam bukunya, Puisi Baru (1946)" (Membicarakan Puisi Indonesia Jilid 1 1975:14).
H.B. Jassin mengatakan bahwa Selasih diperkenalkan sebagai penyair karena banyak menulis puisi dalam majalah Pandji Poestaka dan Poedjangga Baroe, tetapi bentuk dan isi sajak-sajaknya masih amat tradisional. Kekuatan Selasih terletak dalam prosa, seperti dibuktikannya dengan kedua romannya, yaitu Kalau Tak Untung dan Pengaruh Keadaan yang merupakan buku-buku best-seller Balai Pustaka (Pengarang Indonesia dan Dunianya: Kumpulan Karangan, 1983:63—63). Menurut U.U. Hamidy dalam (1976) pendidikan yang diperoleh oleh Sardiamin cukup tinggi dan istimewa untuk masa itu sebab pendidikan untuk wanita di masa itu masih merupakan hal langka.