• Halaman Beranda

  • Data Referensi Kebahasaan dan Kesastraan

  • Ahli Bahasa

    Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA)

    Bahasa Daerah Di Indonesia

    Duta Bahasa

    KBBI

    Penelitian Bahasa

    Registrasi Bahasa

    UKBI

    Indeks Pemanfaatan Bahasa Daerah

    Indeks Kemahiran Berbahasa

    Revitalisasi Bahasa Daerah

  • Gejala Sastra

    Hadiah/Sayembara Sastra

    Karya Sastra

    Lembaga Sastra

    Media Penyebar/Penerbit Sastra

    Pengarang Sastra

    Penelitian Sastra

    Registrasi Sastra Cetak

    Registrasi Sastra Lisan

    Registrasi Manuskrip

  • Pencarian lanjut berdasarkan kategori kebahasaan dan kesastraan

  • Statistik

  • Info

 
 
Soewardi Idris   (1930-2008)
Kategori: Pengarang Sastra

 

Soewardi Idris adalah seorang sastrawan Indonesia yang menulis kisah perang, namanya erat hubungannya dengan peristiwa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) karena novelnya hanya satu, dan novel itu berbicara tentang masalah perang PRRI.

Dalam karyanya Soewardi Idris kadang-kadang menggunakan nama samaran, seperti R. Baginda S.I. (dalam tulisan masalah pendidikan), Essy (dalam tulisan masalah kebudayaan), dan Swara Iswari (dalam tulisan masalah wanita).

Soewardi Idris lahir di Selayo, Solok, Sumatra Barat, pada tanggal 10 November 1930 dan meninggal tahun 2008. Dia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Dari ketujuh bersaudara itu hanya Soewardi Idris yang bergelut dalam dunia tulis-menulis (sastra). Ayahnya bernama Idris bergelar Datuk Rajo Nan Sati, sedangkan ibunya bernama Raisah. Datuk Bandaro Panjang adalah gelar adat yang diberikan kepada Soewardi Idris. Dia adalah salah seorang yang memegang teguh adat Minangkabau. Perhatiannya terhadap adat Minangkabau, antara lain, dituangkannya dalam sebuah artikel yang dimuat oleh surat kabar harian Singgalang, 8 Oktober 1999, tentang Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau.

Soewardi Idris menikah dua kali. Istri pertama bernama Rosleni. Bersama Rosleni, Soewardi Idris memiliki tiga orang anak. Setelah Rosleni meninggal dunia, Soewardi Idris menikah lagi. Perempuan kedua yang dinikahinya itu bernama Rahmah. Bersama Rahmah ia memiliki tiga orang anak. Pernikahan Soewardi Idris dengan Rahmah terjadi di hutan karena saat itu Soewardi Idris sedang bergerilya bersama PRRI. Yang mengadakan perlawanan kepada Pemerintah Pusat tahun 1958—1961. Saat itu, dalam PRRI Soewardi Idris memegang jabatan sebagai wakil kepala penerangan Divisi Banteng dengan pangkat Letnan I.

Soewardi Idris mengawali pendidikannya di SR (sekolah rakyat) Selayo, Solok pada tahun 1936. Setelah tamat SR, ia melanjutkan pendidikannya ke SMP pada tahun 1947. Dia lalu melanjutkan ke SMA di Bukittinggi dan tamat SMA Bagian A pada tahun 1952.

Tahun 1952—1954 Soewardi Idris melanjutkan kuliah ke Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (UGM), Fakultas Sastra Pedagogik Filsafat, Jurusan Sastra Inggris. Akan tetapi, perkuliahannya tidak sampai tamat karena ia sudah mulai bekerja sebagai wartawan dan guru. Pada masa inilah karier Soewardi Idris dalam tulis-menulis mulai muncul, yaitu pada tahun 1953. Cerita pendeknya dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia dan majalah Nasional.

Pada tahun 1954, sebelum tamat kuliah, Soewardi Idris telah bekerja di berbagai bidang, misalnya, menjadi pemimpin redaksi majalah bulanan kebudayaan Seriosa dan pembantu majalah Fantasia di Yogyakarta pada tahun 1954. Di samping itu, ia menjadi pembantu tetap majalah Waktu (mingguan umum di Medan) dan wartawan surat kabar Haluan (Padang) tahun 1954—1956.

Karier Soewardi Idris di dunia pendidikan berawal dari guru. Tahun 1953—1954 ia menjadi guru SMA Piri/Bersubsidi, Yogyakarta. Dalam rangka pengerahan tenaga mahasiswa, mulai bulan Oktober 1954—1957, Soewardi bekerja sebagai guru tetap SMEA Negeri, Padang. Di samping itu, Soewardi Idris menjadi guru honorer di berbagai sekolah lanjutan tingkat atas di Padang.

Sesudah perang antara PRRI dan APRI/Angkatan Perang Republik Indonesia usai, pada tahun 1961—1963, Soewardi Idris bekerja di penerbit NV Nusantara, Bukittinggi. Rustam Anwar (anak pemilik penerbit NV Nusantara) sangat berjasa dalam membangkitkan semangat agar Soewardi Idris menulis apa saja, tidak perlu banyak, yang penting masuk buku H.B. Jassin. Berkat adanya motivasi itu lahirlah novel Dari Puncak Bukit Talang. Novel itu merupakan satu-satunya novel karya Soewardi Idris yang benar-benar dibahas panjang lebar oleh H.B. Jassin.

Soewardi Idris sangat mengagumi H.B. Jassin karena, menurutnya, kehidupan Jassin benar-benar iabdikannya untuk sastra. Di samping itu, Soewardi Idris pun mengaku bahwa ia sangat mengagumi karya-karya Kahlil Gibran dan dalam berkarya ia sangat terpengaruh oleh pesona karya Gibran. Bahkan, ia juga mengoleksi karya-karya Gibran.

Soewardi Idris hijrah dari Padang ke Jakarta dan mulai bekerja di TVRI pada tahun 1966. Di Jakarta inilah ia kembali melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Ekstensi VI, Universitas Indonesia, dan mendapat gelar Sarjana Muda Hukum. Selain aktif di dunia pendidikan, Soewardi Idris juga aktif dalam dunia kebudayaan dan jurnalistik. Aktivitasnya dalam dunia jurnalistik mengantarkannya untuk mendapat hadiah dari PWI Pusat sebagai penulis terbaik bidang sejarah.

Sementara itu, setelah dua tahun bekerja di TVRI, Soewardi Idris dikirim ke Australia untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan mengenai produksi acara televisi. Sekembalinya dari Australia, Soewardi Idris ddiangkat menjadi Kepala Seksi Penyusun Acara. Kariernya terus meningkat, dari kepala seksi menjadi Kepala Bagian Produksi dan Siaran TVRI Stasiun Pusat Jakarta sampai tahun 1975.

Tahun 1976 Soewardi Idris mengikuti pendidikan dan pelatihan mengenai Television News and Current Affairs di Inggris. Dia pernah menjadi anggota delegasi Indonesia pada sidang IX ASEAN Committee on Culture and Information di Bandung. Tahun 1984 ia mengikuti berbagai kegiatan, seperti mewakili TVRI dalam mengikuti sidang Majelis Bahasa Indonesia—Malaysia, mewakili TVRI dalam Advisory Board Meeting on Documentary di Singapura, menjadi nara sumber di Asian Institute for Broadcast Development. Tahun 1985 Soewardi Idris ditunjuk sebagai pemimpin delegasi Indonesia ke festival lagu-lagu pop ASEAN. Dia juga pernah menjadi juri FFI di bidang sinetron.

Sebagai karyawan TVRI, Soewardi Idris sering bertugas ke luar negeri, seperti Hongkong, Tokyo, dan Hollywood (Los Angeles). Dua kali ia mengunjungi Jerman Barat; pertama (1980) untuk mengikuti seminar di Munchen mengenai acara Health Education by Television and Radio, dan kedua (1986) sebagai anggota juri kontes acara remaja, Prix Juenesse International (juga di Munchen).

Setelah pensiun dari TVRI pada awal 1987, Soewardi Idris menjadi kontributor tetap harian Singgalang (Padang) dan penulis lepas. Di samping itu, ia menjadi pengajar bahasa dan jurnalistik di TVRI.

Soewardi Idris mengumpamakan pekerjaan mengarang itu laksana mengisi gelas dengan air. Kalau tempat air kosong, apa yang dapat diisikan ke dalam gelas itu? Jadi, mengarang itu memerlukan wawasan yang luas dan pengarang harus selalu menambah muatan intelektualnya.

H.B. Jassin (1985: 67-68) menyebut Soewardi Idris sebagai pengarang realis karena tidak membagus-baguskan atau menjelek-jelekkan, menambah atau mengurangi lukisan tokoh-tokohnya, tapi sekedar melukiskan apa adanya sebagaimana wujudnya, dalam tingkah lakunya, dalam gerak-gerik jiwanya sebagai manusia.

Ajip Rosidi menggolongkan Soewardi Idris sebagai pengarang angkatan 1950-an. Meskipun demikian, sebenarnya Soewardi Idris tidak pernah berhenti berkarya. Karyanya masih muncul dalam berbagai media massa, terutama karyanya yang berbentuk cerita pendek.

Karya Soewardi Idris, antara lain adalah Cerpen (1)"Fragments dari Suatu Dunia". Nasional, 50.4 (53), 20-21,23, 2) "Lagu tak Bersyair". Mimbar Indonesia, 49.7 (53), 20-21,24, (3) "Parlementaria". Mimbar Indonesia, 50.7 (53), 14—15, (4) "Pembatasan Pers sudah Berjalan di Rumahku". Mimbar Indonesia, 52.7, (53), 14—15, 27, (5) "Upahan Mati". Mimbar Indonesia, 51.7 (53), 20—21, (6) "Akibat". Duta Suasana, 11.3 (54), 22—24, (7) "Bapak Rakyat". Brawijaya, 9.4, (54), 22-25, (8) "Honorarium". Mimbar Indonesia, 24.8 (54), 20—21, (9) "Jalan Bersimpang Tiga". Nasional, 14.5 (54) 20—21, (10) "Jatuh Cinta". Mimbar Indonesia, 38.8 (54), 20—21, (11) "Kawin". Mimbar Indonesia, 47. (54), 20-21, (12) "Kuran". Mimbar Indonesia, 21.8 (54), 20-22, (13) "Lagu Malam". Nasional, 22.5 (54), 20—21, (14) "Belajar Sepeda". Kisah, April 1955, III:4, 15) "Penka". Kisah, September 1955: III:9, (16) "Sehari-hari di Sekolah". Kisah, 3.3 (55)15,19, 17) "Ia akan Mengerti". Star Weekly, 823.16 (61), 18) "Semuanya telah Terjadi". Star Weekly, 817.16 (61), 33-35, (19) "Seorang Anak Perempuan". Varia, 175.4 (61), 20) "Di Luar Dugaan". Tanah Air, 2.16 (62), (21) "Masa Silam Telah Berlalu". Varia, 376.8 (65), 24) "Mata", Suara Pembaruan, Minggu, 24 April 1988.

Kumpulan Cerpen 1) Isteri Seorang Sahabat, NV Nusantara, Jakarta, 1963, 2) Di Luar Dugaan (kumpulan cerpen). NV Nusantara, Jakarta, 1963. Novel Dari Puncak Bukit Talang .1964. Jakarta, Wilendra. Puisi, "Lagu Hari Ini". Gadjah Mada, 4.4 (53) 274.

 
PENCARIAN TERKAIT

  • As. Rakhmad Idris
    Profil Ahli Bahasa: Nama: As. Rakhmad Idris NIP: 197903252005011002 Tempat/Tanggal Lahir: Palembang, 25 Maret 1979 Kategori: Penyuluh, Ahli Bahasa Tindak Pidana Satker: Kantor Bahasa Lampung
  •  
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
     
    Soewardi Idris   (1930-2008)
    Kategori: Pengarang Sastra

     

    Soewardi Idris adalah seorang sastrawan Indonesia yang menulis kisah perang, namanya erat hubungannya dengan peristiwa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) karena novelnya hanya satu, dan novel itu berbicara tentang masalah perang PRRI.

    Dalam karyanya Soewardi Idris kadang-kadang menggunakan nama samaran, seperti R. Baginda S.I. (dalam tulisan masalah pendidikan), Essy (dalam tulisan masalah kebudayaan), dan Swara Iswari (dalam tulisan masalah wanita).

    Soewardi Idris lahir di Selayo, Solok, Sumatra Barat, pada tanggal 10 November 1930 dan meninggal tahun 2008. Dia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Dari ketujuh bersaudara itu hanya Soewardi Idris yang bergelut dalam dunia tulis-menulis (sastra). Ayahnya bernama Idris bergelar Datuk Rajo Nan Sati, sedangkan ibunya bernama Raisah. Datuk Bandaro Panjang adalah gelar adat yang diberikan kepada Soewardi Idris. Dia adalah salah seorang yang memegang teguh adat Minangkabau. Perhatiannya terhadap adat Minangkabau, antara lain, dituangkannya dalam sebuah artikel yang dimuat oleh surat kabar harian Singgalang, 8 Oktober 1999, tentang Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau.

    Soewardi Idris menikah dua kali. Istri pertama bernama Rosleni. Bersama Rosleni, Soewardi Idris memiliki tiga orang anak. Setelah Rosleni meninggal dunia, Soewardi Idris menikah lagi. Perempuan kedua yang dinikahinya itu bernama Rahmah. Bersama Rahmah ia memiliki tiga orang anak. Pernikahan Soewardi Idris dengan Rahmah terjadi di hutan karena saat itu Soewardi Idris sedang bergerilya bersama PRRI. Yang mengadakan perlawanan kepada Pemerintah Pusat tahun 1958—1961. Saat itu, dalam PRRI Soewardi Idris memegang jabatan sebagai wakil kepala penerangan Divisi Banteng dengan pangkat Letnan I.

    Soewardi Idris mengawali pendidikannya di SR (sekolah rakyat) Selayo, Solok pada tahun 1936. Setelah tamat SR, ia melanjutkan pendidikannya ke SMP pada tahun 1947. Dia lalu melanjutkan ke SMA di Bukittinggi dan tamat SMA Bagian A pada tahun 1952.

    Tahun 1952—1954 Soewardi Idris melanjutkan kuliah ke Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (UGM), Fakultas Sastra Pedagogik Filsafat, Jurusan Sastra Inggris. Akan tetapi, perkuliahannya tidak sampai tamat karena ia sudah mulai bekerja sebagai wartawan dan guru. Pada masa inilah karier Soewardi Idris dalam tulis-menulis mulai muncul, yaitu pada tahun 1953. Cerita pendeknya dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia dan majalah Nasional.

    Pada tahun 1954, sebelum tamat kuliah, Soewardi Idris telah bekerja di berbagai bidang, misalnya, menjadi pemimpin redaksi majalah bulanan kebudayaan Seriosa dan pembantu majalah Fantasia di Yogyakarta pada tahun 1954. Di samping itu, ia menjadi pembantu tetap majalah Waktu (mingguan umum di Medan) dan wartawan surat kabar Haluan (Padang) tahun 1954—1956.

    Karier Soewardi Idris di dunia pendidikan berawal dari guru. Tahun 1953—1954 ia menjadi guru SMA Piri/Bersubsidi, Yogyakarta. Dalam rangka pengerahan tenaga mahasiswa, mulai bulan Oktober 1954—1957, Soewardi bekerja sebagai guru tetap SMEA Negeri, Padang. Di samping itu, Soewardi Idris menjadi guru honorer di berbagai sekolah lanjutan tingkat atas di Padang.

    Sesudah perang antara PRRI dan APRI/Angkatan Perang Republik Indonesia usai, pada tahun 1961—1963, Soewardi Idris bekerja di penerbit NV Nusantara, Bukittinggi. Rustam Anwar (anak pemilik penerbit NV Nusantara) sangat berjasa dalam membangkitkan semangat agar Soewardi Idris menulis apa saja, tidak perlu banyak, yang penting masuk buku H.B. Jassin. Berkat adanya motivasi itu lahirlah novel Dari Puncak Bukit Talang. Novel itu merupakan satu-satunya novel karya Soewardi Idris yang benar-benar dibahas panjang lebar oleh H.B. Jassin.

    Soewardi Idris sangat mengagumi H.B. Jassin karena, menurutnya, kehidupan Jassin benar-benar iabdikannya untuk sastra. Di samping itu, Soewardi Idris pun mengaku bahwa ia sangat mengagumi karya-karya Kahlil Gibran dan dalam berkarya ia sangat terpengaruh oleh pesona karya Gibran. Bahkan, ia juga mengoleksi karya-karya Gibran.

    Soewardi Idris hijrah dari Padang ke Jakarta dan mulai bekerja di TVRI pada tahun 1966. Di Jakarta inilah ia kembali melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Ekstensi VI, Universitas Indonesia, dan mendapat gelar Sarjana Muda Hukum. Selain aktif di dunia pendidikan, Soewardi Idris juga aktif dalam dunia kebudayaan dan jurnalistik. Aktivitasnya dalam dunia jurnalistik mengantarkannya untuk mendapat hadiah dari PWI Pusat sebagai penulis terbaik bidang sejarah.

    Sementara itu, setelah dua tahun bekerja di TVRI, Soewardi Idris dikirim ke Australia untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan mengenai produksi acara televisi. Sekembalinya dari Australia, Soewardi Idris ddiangkat menjadi Kepala Seksi Penyusun Acara. Kariernya terus meningkat, dari kepala seksi menjadi Kepala Bagian Produksi dan Siaran TVRI Stasiun Pusat Jakarta sampai tahun 1975.

    Tahun 1976 Soewardi Idris mengikuti pendidikan dan pelatihan mengenai Television News and Current Affairs di Inggris. Dia pernah menjadi anggota delegasi Indonesia pada sidang IX ASEAN Committee on Culture and Information di Bandung. Tahun 1984 ia mengikuti berbagai kegiatan, seperti mewakili TVRI dalam mengikuti sidang Majelis Bahasa Indonesia—Malaysia, mewakili TVRI dalam Advisory Board Meeting on Documentary di Singapura, menjadi nara sumber di Asian Institute for Broadcast Development. Tahun 1985 Soewardi Idris ditunjuk sebagai pemimpin delegasi Indonesia ke festival lagu-lagu pop ASEAN. Dia juga pernah menjadi juri FFI di bidang sinetron.

    Sebagai karyawan TVRI, Soewardi Idris sering bertugas ke luar negeri, seperti Hongkong, Tokyo, dan Hollywood (Los Angeles). Dua kali ia mengunjungi Jerman Barat; pertama (1980) untuk mengikuti seminar di Munchen mengenai acara Health Education by Television and Radio, dan kedua (1986) sebagai anggota juri kontes acara remaja, Prix Juenesse International (juga di Munchen).

    Setelah pensiun dari TVRI pada awal 1987, Soewardi Idris menjadi kontributor tetap harian Singgalang (Padang) dan penulis lepas. Di samping itu, ia menjadi pengajar bahasa dan jurnalistik di TVRI.

    Soewardi Idris mengumpamakan pekerjaan mengarang itu laksana mengisi gelas dengan air. Kalau tempat air kosong, apa yang dapat diisikan ke dalam gelas itu? Jadi, mengarang itu memerlukan wawasan yang luas dan pengarang harus selalu menambah muatan intelektualnya.

    H.B. Jassin (1985: 67-68) menyebut Soewardi Idris sebagai pengarang realis karena tidak membagus-baguskan atau menjelek-jelekkan, menambah atau mengurangi lukisan tokoh-tokohnya, tapi sekedar melukiskan apa adanya sebagaimana wujudnya, dalam tingkah lakunya, dalam gerak-gerik jiwanya sebagai manusia.

    Ajip Rosidi menggolongkan Soewardi Idris sebagai pengarang angkatan 1950-an. Meskipun demikian, sebenarnya Soewardi Idris tidak pernah berhenti berkarya. Karyanya masih muncul dalam berbagai media massa, terutama karyanya yang berbentuk cerita pendek.

    Karya Soewardi Idris, antara lain adalah Cerpen (1)"Fragments dari Suatu Dunia". Nasional, 50.4 (53), 20-21,23, 2) "Lagu tak Bersyair". Mimbar Indonesia, 49.7 (53), 20-21,24, (3) "Parlementaria". Mimbar Indonesia, 50.7 (53), 14—15, (4) "Pembatasan Pers sudah Berjalan di Rumahku". Mimbar Indonesia, 52.7, (53), 14—15, 27, (5) "Upahan Mati". Mimbar Indonesia, 51.7 (53), 20—21, (6) "Akibat". Duta Suasana, 11.3 (54), 22—24, (7) "Bapak Rakyat". Brawijaya, 9.4, (54), 22-25, (8) "Honorarium". Mimbar Indonesia, 24.8 (54), 20—21, (9) "Jalan Bersimpang Tiga". Nasional, 14.5 (54) 20—21, (10) "Jatuh Cinta". Mimbar Indonesia, 38.8 (54), 20—21, (11) "Kawin". Mimbar Indonesia, 47. (54), 20-21, (12) "Kuran". Mimbar Indonesia, 21.8 (54), 20-22, (13) "Lagu Malam". Nasional, 22.5 (54), 20—21, (14) "Belajar Sepeda". Kisah, April 1955, III:4, 15) "Penka". Kisah, September 1955: III:9, (16) "Sehari-hari di Sekolah". Kisah, 3.3 (55)15,19, 17) "Ia akan Mengerti". Star Weekly, 823.16 (61), 18) "Semuanya telah Terjadi". Star Weekly, 817.16 (61), 33-35, (19) "Seorang Anak Perempuan". Varia, 175.4 (61), 20) "Di Luar Dugaan". Tanah Air, 2.16 (62), (21) "Masa Silam Telah Berlalu". Varia, 376.8 (65), 24) "Mata", Suara Pembaruan, Minggu, 24 April 1988.

    Kumpulan Cerpen 1) Isteri Seorang Sahabat, NV Nusantara, Jakarta, 1963, 2) Di Luar Dugaan (kumpulan cerpen). NV Nusantara, Jakarta, 1963. Novel Dari Puncak Bukit Talang .1964. Jakarta, Wilendra. Puisi, "Lagu Hari Ini". Gadjah Mada, 4.4 (53) 274.

     
    PENCARIAN TERKAIT

  • As. Rakhmad Idris
    Profil Ahli Bahasa: Nama: As. Rakhmad Idris NIP: 197903252005011002 Tempat/Tanggal Lahir: Palembang, 25 Maret 1979 Kategori: Penyuluh, Ahli Bahasa Tindak Pidana Satker: Kantor Bahasa Lampung
  • As. Rakhmad Idris
    Profil Ahli Bahasa: Nama: As. Rakhmad Idris NIP: 197903252005011002 Tempat/Tanggal Lahir: Palembang, 25 Maret 1979 Kategori: Penyuluh, Ahli Bahasa Tindak Pidana Satker: Kantor Bahasa Lampung
  •  
     
     
    © 2024    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa