Triyanto Triwikromo adalah seorang sastrawan putra dari pasangan Mardino dan Mardiyah yang lahir di Pungkur Sari, Salatiga, tepatnya tanggal 15 September 1964. Masa pendidikannya dilewatkan di Salatiga (SD, SMP, SMA) dan di Semarang (Universitas Negeri Semarang). Sastrawan satu ini masih tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana di Universitas Diponegoro (Undip) Program Ilmu Kesusastraan, tahun 2007. Ia menikah dengan Wiwik Triastuti dan mereka dikarunia tiga anak, yaitu Primaera Restu Wingit Anjani, Sanrez Adami, dan Ibrah Fastabiqi. Bersama keluarganya ia menetap di Semarang, tepatnya Jalan Ebony A-45, Plamongan Indah.
Motivasi awal ia menulis adalah untuk mengungkapkan perasaannya. Dengan menulis ia merasa bebas mengungkapkan segala problem yang ada dalam kehidupan. Ia memperoleh kemampuan menulis secara autodidak dan ditunjang pendidikan secara formal (SD—Universitas) dan informal (penataran dan pelatihan). Ia pernah mendapatkan Pelatihan Pendidikan Jurnalisme Sastra dan Pendidikan Jurnalisme Investigasi.
Ia pernah menjadi guru SD di Salatiga (1985) dan selanjutnya ia merantau ke Jakarta bekerja di sebuah diskotik sebagai supervisor (1990—1991). Pekerjaan itu hanya setahun dijalaninya dan ia kembali ke Semarang menjadi wartawan Suara Merdeka sejak 1994. Ia juga pernah menjadi Ketua Komite Sastra, Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), tahun 2007. Kini, di samping bekerja sebagai redaktur sastra di harian Suara Merdeka, ia juga menulis cerpen di harian Kompas, Media Indonesia, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, dan Republika.
Selain menulis cerpen dan puisi, Triyanto juga kerap mengikuti pertemuan teater dan sastra, antara lain menjadi pembicara dalam Pertemuan Teater Indonesia 1988 di Yogyakarta, mengikuti Pertemuan Sastrawan Indonesia 1997 di Padang, dan menjadi aktivis Gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman.
Tahun 1989 ia dinobatkan menjadi Penyair terbaik versi majalah Gadis. Kumpulan cerpennya, antara lain adalah Rezim Seks (1997), dan Ragaula (2002). Bersama cerpenis Herlino Soleman ia menerbitkan kumpulan cerpen Pintu Tertutup Salju (2000). Di samping itu, antologi bersama cerpenis lain dalam Ritus (1995), Negeri Bayang-bayang (1996), Gerbong: Antologi Puisi dan Cerpen Indonesia Modern (1998), Children Sharpening the Knives (2003) kumpulan cerpen dalam dwibahasa (Inggris-Indonesia) terjemahan dari karyanya Anak-anak Mengasah Pisau.
Triyanto yang oleh Korrie Layun Rampan dikategorikan ke dalam Angkatan 2000 ini juga menerbitkan kumpulan cerpennya dengan judul Sayap Anjing (2003) yang merupakan kumpulan cerpennya di berbagai harian surat kabar (1996—2003). Triyanto dengan kreativitasnya dalam berkarya banyak mengundang komentar para sastrawan lain dan para kritikus. Berbagai tanggapan tentang karyanya membuat Triyanto semakin matang dalam mengelola penderitaannya menjadi sebuah karya sastra. seperti yang dikemukakan oleh Darmanto Yatman bahwa cerpen Triyanto merupakan dekonstruksi terhadap ideologi keindahan cerpen konvensional. Triyanto adalah nama baru yang bersinar di dunia cerpen. Afrizal Malna mengatakan bahwa Triyanto memperlakukan cerpen sebagai media ekspresi puitika ke ruang prosa dengan berbagai kemungkinan medan teks yang didekonstruksikan dan diciptakan kembali. Kekerasan dan seks sangat mewarnai cerpennya. Kerusakan-kerusakan sosial bukan lagi berita, tetapi telah menjadi bagian dari fenomena ketubuhan. Tingginya tingkat perusakan yang terjadi pada cerpen-cerpen Triyanto, membuat cerpen-cerpennya mirip tubuh penuh tato yang menggambarkan berbagai teks tentang kekerasan. Cerpen menjadi medan tato dengan risiko-risiko sosial yang perih ditorehkan di sini.
Prof. Dr. Th. Sri Rahayu Prihatmi memberikan komentar bahwa ketidakpastian cerita rekaan (Triyanto) ini justru merupakan salah satu ciri cerita rekaan yang menggunakan modus fantastik, yakni satu cara ungkap yang merongrong tradisi sastra yang mapan. Isinya pun sering kali merupakan penumbangan budaya mapan.