Lusi Lindri merupakan novel karya Y.B. Mangunwidjaya yang diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, tahun 1987 (cetakan I), dicetak dengan kertas buram 512 halaman dan tahun 1994 (cetakan II). Lusi Lindri merupakan bagian dari sebuah trilogi karya Y.B. Mangunwijaya. Dua novel lainnya adalah Roro Mendut dan Genduk Duku.
Lusi Lindri berlatar peristiwa sejarah pada masa kekuasaan dan keruntuhan Kerajaan Mataram di bawah pemerintahan Sunan Amangkurat I. Sistem pemerintahan yang kacau, dengan pembunuhan massal terhadap para santri, menyebabkan keretakan hubungan antara Sunan Amangkurat I dan Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya adalah kakak Sultan Agung Hanyokro-kusumo. Selain Pangeran Purbaya, Pangeran Selarong, seorang panglima yang berjiwa seniman, juga merasa kecewa. Dari luar istana, rakyat biasa juga menginginkan kejatuhan Sunan Amangkurat I, di antaranya Trunajaja, pengikut Pangeran Kajoran, dan orang-orang Pagelen.
Lusi Lindri berpusat pada tokoh Lusi Lindri. Keterkaitan peristiwa satu dengan peristiwa lainnya ditambah dengan pengamatan Lusi Lindri dari dalam istana tentang kesewenang-wenangan Sunan Amangkurat I dan pengikutnya memperlihatkan situasi pemerintahan yang kacau. Tokoh Lusi Lindri tidak mengalami penderitaan seperti yang dialami Roro Mendut dan Genduk Duku. Sejak kecil ia hidup di lingkungan istana. Ia dititipkan di puri milik Tumenggung Singaranu. Pada masa remaja ia diangkat sebagai salah satu anggota Trinisat Kenya, pasukan khusus pengawal raja yang terdiri atas para gadis cantik yang mahir olah perang. Ia melarikan diri dari lingkungan istana dan melakukan perlawanan gerilya bersama suami dan kaum pemberontak Pagelen karena kekecewaannya ketika melihat perilaku para pejabat istana yang penuh intrik dan sewenang-wenang terhadap rakyat kecil.
Cara Lusi Lindri mewujudkan perjuangannya cenderung lebih dekat dengan cara yang dipilih Roro Mendut. Ia lebih berani mengemukakan sikap dan melakukan hal yang diyakininya. Kemampuan penalarannya cukup baik. Ia mampu memprediksi masa depan. Pemerintahan yang kacau membulatkan tekad Lusi Lindri untuk berdiri di pihak yang berhadapan dengan pihak istana yaitu dengan melakukan pemberontakan, terlebih lagi setelah Lusi Lindri menikah dengan Peparing, keturunan Pangeran Tepasana, yang bertugas menjaga danau buatan di Segaryasa. Bersama dengan Peparing dan Luwak Luweng, Lusi Lindri berhasil mewujudkan cita-citanya untuk hidup merdeka dan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Sunan Amangkurat I.
Dalam Lusi Lindri, persoalan yang muncul bersifat universal. Motif yang dominan pada Lusi Lindri adalah motif kegagahan dan motif kebebasan. Novel tersebut juga mengemukakan reaksi kelompok tertindas terhadap kekuasaan Raja. Potensi pemberontakan akan semakin berkembang ketika pemilik kekuasaan memanfaatkan kekuasaannya untuk pelanggengan kekuasaan tersebut. Ketika benih-benih pemberontakan muncul, pemegang kuasa hendaknya menyadari akan tibanya akhir dari kekuasaannya.