Intojo bernama lengkap Raden Intojo. Sebagai seorang penyair ia sering menggunakan nama samaran, di antaranya Rhamedin, Heldas, Hirahamra, Ibnoe Sjihab, Imam Soepardi, dan Indera Bangsawan. Namun, dari beberapa sumber didapat keterangan yang berbeda-beda sehingga dipertanyakan apakah nama Intojo itu nama asli atau nama samaran. Dalam antologi susunan Jus Badudu dkk.(1984), misalnya, disebutkan bahwa nama asli Intojo adalah Rhamedin, sedangkan dalam buku-buku lain disebutkan bahwa Intojo adalah nama asli. Beberapa nama samaran yang sudah disebutkan digunakan ketika ia menulis karya (sajak) berbahasa Indonesia. Sementara itu, di dalam karya-karya (geguritan) berbahasa Jawa secara konsisten, ia menggunakan nama Intojo.
Dia lahir di Tulungagung, Jawa Timur, 27 Juli 1912 meninggal di sana pada tahun 1965. R. Intojo dikenal sebagai "Bapak Soneta Sastra Jawa Modern". Sebagaimana penyair Pujangga Baru lainnya ia menguasai beberapa bahasa asing dan sejak muda sudah berkenalan dengan kesusastraan Barat, khususnya Belanda, Inggris, dan Jerman. Ia sangat menyukai soneta-soneta "The Sonnet's Voice" karya Theodore Watts, "Natur un Kunst" karya Goethe, "Aan de Sonnetten" karya Jecques Perk, dan "Ik ween om bloemen" karya Willem Kloos. (CSH, Kakilangit 66/Juni 2002: 1). Di samping menulis sajak (sajak/guritan) dan esai sastra, R. Intojo juga aktif dalam berbagai kegiatan diskusi mengenai persoalan sosial-budaya pada umumnya. Pada tanggal 26—27 April 1952, misalnya, R. Intojo mengikuti simposium yang diselenggarakan di Jakarta oleh seniman kelompok Gelanggang, bekerja sama dengan beberapa lembaga kebudayaan, seperti Lekra, Liga Komponis, PEN-Club Indonesia, dan Poedjangga Baroe. Dalam simposium tersebut, ia bersama-sama dengan tokoh lain, seperti Intojo bersekolah di Holland Inlandsche School (HIS), Mojokerto, Jawa Timur. Setamat HIS, R. Intojo melanjutkan studi ke Holland Inlandsche Kweek School (HIK) di Blitar. Pada tahun 1930, ia pindah ke HIK di Gunungsari, Lembang, Bandung, dan baru selesai pada tahun 1933. Setamat dari HIK di Lembang, ia mengajar di Perguruan Rakyat Bandung.
Tidak lama kemudian, ia pindah dan mengajar di Sekolah Mardi Siswa di Blitar, Jawa Timur. Bahkan, di Blitar pun tidak lama pula karena tahun 1938 ia pindah lagi dan mengajar di HIK Rangkasbitung, Banten. Pada awal tahun 1960-an ia pergi ke luar negeri dan menjadi pengajar Bahasa Indonesia di sebuah sekolah di Rusia (Uni Soviet).
Kepenyairan R. Intojo dimulai pada tahun 1932 ketika masih bersekolah di HIK, Lembang, Bandung. Kedudukannya sebagai penyair makin diakui ketika majalah Poedjangga Baroe terbit (Juli 1933) dan memuat banyak puisinya. Itulah sebabnya, dalam khazanah sastra Indonesia, ia disebut-sebut sebagai salah seorang tokoh Pujangga Baru. R. Intojo berhenti menulis sajak pada masa menjelang Jepang datang ke Indonesia (1941) karena pada masa Jepang (1942—1944), lebih-lebih setelah Indonesia merdeka (sejak 1945), sama sekali tidak dijumpai lagi karya-karyanya. Kendati demikian, tidak berarti bahwa ia tidak aktif lagi di bidang seni-budaya, khususnya sastra, karena ternyata, masih ada beberapa esainya dalam berbagai majalah.
Salah satu esainya "Amir Hamzah dan Chairil Anwar", di dalam majalah Indonesia, No. 10. Tahun II, Juni 1951, berisi kupasan tentang puisi Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Selain itu, ia juga menulis esai berjudul "Pantun" di majalah Indonesia, No. 4 dan 7, Tahun III, 1952. Beberapa esai yang lain dimuat dalam rubrik "Sudut Bahasa" majalah Nasional antara tahun 1952—1953.
Puisi R. Intojo yang berbahasa Indonesia tersebar di berbagai media massa, antara lain, Semangat Pemuda, Pedoman Masyarakat, Panji Islam, Almanak Perguruan, dan Pujangga Baru dan kemudian terkumpul dalam buku Puisi Baru (1954) susunan Sutan Takdir Alisjahbana, Perkembangan Puisi Indonesia Tahun 20-an hingga Tahun 40-an (1984) susunan J.S. Badudu dkk., dan Tonggak I (1987) susunan Linus Suryadi A.G.
Puisi R. Intojo yang berbahasa Indonesia berjumlah 17 buah, yaitu "Cend'ra Durja" (Semangat Pemoeda, Mei 1932, Poedjangga Baroe, Agustus 1937), "Zaman yang Mulia (Semangat Pemoeda, 15 Agustus 1932, Poedjangga Baroe, Desember 1937), "Pulau Bali" (Poedjangga Baroe, Mei—Juli 1933), "Ibu ..." (Poedjangga Baroe, Mei—Juli 1933), "Kemegahan Kita di Zaman Bahari" (Poedjangga Baroe, Agustus 1937), "Kalau Hanya" (Pedoman Masjarakat, 31 Oktober 1936), "Nasib Nelayan" (Pedoman Masjarakat, 31 Januari 1936), "Oh, Nasib ...! (Pandji Islam, 15 Oktober 1937), "Di Mana Tempat Cinta Sejati ...?" (Poedjangga Baroe, Maret 1937), "Rasa Baru" (Poedjangga Baroe, April 1937), "Air Kecil" (Poedjangga Baroe, April 1937), "Mengembara Beta ..." (Poedjangga Baroe, September 1937), "Wetenschap" (Poedjangga Baroe, Maret 1937), "Untuk Pujangga Baru" (Poedjangga Baroe, Februari 1938), "Nasib" (Poedjangga Baroe, Agustus 1938), "Gua" (Poedjangga Baroe, April 1939), "Roebajat" (Almanak Pergoeroean, Taman Siswa, 1941).