Noto Suroto yang dikenal sebagai seorang tokoh pendukung ide federasi yang dilontarkan oleh pemerintah Belanda pada masa itu adalah seorang penyair dan esais. Hal itu yang menyebabkan ia disebut sebagai seorang "pengkhianat" oleh kalangan nasionalis seperti terungkap dalam salah satu surat Muhamad Hatta. Tokoh ini tidak banyak dikenal di dunia sastra Indonesia karena karya-karyanya ditulis dalam bahasa Belanda, tetapi bentuk dan semangatnaya masih dalam model-model kesusastraan Jawa. Dia lahir di Yogyakarta, 5 Juni 1896 dan meninggal di Solo, 28 November 1951 pada usia 64 tahun.
Karya-karyanya yang terkenal, antara lain, berbentuk syair Budding Melati (Melatiknoppen, 1915). Karya-karyanya yang lain adalah Mother's Fragran Hair (Degeur van moeder's haawrong) terbit tahun 1916, Whisperings of the Evening Breeze (Fluisteringen van den avondwind) terbit tahun 1917, Garlands (Blomeketenen, 1918), Lotus and Morning Dew (Lotus en morgendanvn,1920), New Whisperings (Nieurwe fluisteriungen van den avondwind, 1925), dan Wayang Songs (Wayang Liederen, 1931) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan Jerman.
Banyak hal yang dibicarakan dalam esai-esainya, antara lain tentang gamelan, kebudayaan Jawa, dan hubungan Barat dan Timur. Dia sudah mulai berkarya sejak usia 22 tahun. Karyanya banyak dipengaruhi oleh Tagore. Dia memperkenalkan Tagore dalam sebuah tulisan singkat mengenai riwayat hidup tokoh itu (1916). Dia juga menerjemahkan karya Tagore dengan judul The Parrot's Apprenticeship and Speeches in Shanti Niketan (1922). Pada awal tahun 1931 ia secara pribadi bertemu dengan Mahatma Gandhi. Dari pertemuan itu ia menulis beberapa artikel mengenai pendiriannya untuk mendukung federasi yang tidak luput dari latar belakang kehidupan keluarganya. Dia dibesarkan dalam keluarga priyayi di Pura Paku Alam yang sangat patuh kepada pemerintah Belanda. Ide-idenya mengenai federasi dituangkan dalam sebuah majalah yang berjudul Oedaja, Mei, 1923. Majalah ini memiliki misi "bebas dari pengaruh politik atau pengaruh apa pun". Majalah ini dengan sangat jelas mendukung ide federasi yang pada prinsipnya ingin berdiri di tengah-tengah antara pemerintah kolonial dan nasionalis. Dia dengan sangat giat mengumandangkan ide federasi yang dipikirnya merupakan sebuah pertemuan yang indah antara dua kebudayaan. Namun, usahanya tidak berhasil. Dia selalu berada di tengah-tengah.
Noto Suroto kembali ke Indonesia pada tahun 1932. Dia terkurung dalam dunia aristokratnya dan benar-benar terisolasi, tetapi tetap menulis. Salah satu naskahnya yang belum diselesaikannya adalah manuskrip cerita binatang yang akhirnya diterbitkan pada tahun 1956 bersama-sama dengan Wayang Song oleh teman Belandanya Ben van Eysselteijn di bawah judul Gods, people and Animals (Goden, mensen en dieren).