Matu Mona sebagai sastrawan Indonesia pernah mendapat predikat pengarang novel picisan. Dia lahir di Kesawan, Deli, Sumatra Utara, tanggal 21 Juni 1910 dan meninggal dunia tanggal 8 Juli 1987 di Jakarta. Namun, menurut berbagai sumber tanggal kelahirannya beragam, misalnya Zatako dalam Suara Karya 29 Maret 1985 menulis kelahiran Matu Mona adalah tanggal 15 Juni 1910, Soebagio I.N. dalam buku Jagat Wartawan Indonesia 1981 menulis kelahiran Matu Mona adalah 20 Juli 1910, Tom dalam Kompas 9 Juli 1987 menulis kelahiran Matu Mona, yaitu tanggal 1 Juni 1910, surat kabar Merdeka 25 Maret 1950 menulis kelahiran Matu Mona, yaitu tanggal 21 Juli 1910.
Nama asli Matu Mona adalah Hasbullah Parindury. Namun, nama aslinya itu kurang dikenal sebab dalam kehidupan sehari-harinya pun ia sering dipanggil dengan nama samarannya. Matu Mona menikah dengan Nurlela Lubis dan ia dikaruniai enam orang anak, empat perempuan dan dua laki-laki. Anak pertama bernama Nina Parinduri, anak kedua Rita Parinduri (terkenal dengan nama Rita Matu Mona), anak ketiga Daliyan Parinduri, anak keempat Nurhadi Parinduri, anak kelima Nona Parinduri, dan anak keenam Nuri Parinduri.
Dia menyelesaikan studinya di St. Anthony's International Shcool di Medan, tahun 1930. Selanjutnya, ia belajar secara autodidak. Setelah menamatkan studi di sekolah St. Anthony's International Shcool, Matu Mona bekerja sebagai guru bantu di sekolah itu. Tahun 1931--1938 ia menjabat redaktur harian Pewarta Deli, Medan di bawah pimpinan Adinegoro. Pada waktu bekerja di harian ini, Matu Mona memulai debutnya dalam menulis karya sastra.
Tahun 1939 Matu Mona memimpin majalah bulanan Goebahan Maja sambil membantu majalah Tjendrawasih. Kedua majalah itu terbit di Medan. Atas jasanya dalam bidang jurnalistik dan kewartawanan, Matu Mona mendapat anugerah dari Pemerintah pada Hari Pers Nasional tanggal 9 Februari 1985 bersamaan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia ke-39.
Matu Mona aktif dalam berbagai kegiatan, seperti dalam dunia sastra, kewartawanan, penerbitan, dan partai politik, juga aktif di dunia sandiwara. Pada tahun 1932—1938 Matu Mona pernah memimpin sandiwara amatir Ratu Timur untuk mencari dana buat perjuangan politik dan gerakan sosial di Sumatra Timur. Tahun 1943—1944 ia ikut rombongan sandiwara Cahaya Timur pimpinan Anjar Asmara kemudian pindah ke Dewi Mada. Pada saat bergabung dengan Anjar Asmara, ia diberi tugas sebagai sutradara dan penulis naskah. Naskahnya "Pulau Impian" yang berupa operet berisi sindiran terhadap penjajahan Jepang dan Belanda.
Matu Mona bermarga Rangkuti dan beragama Islam. Setelah aktif dalam kegiatan politik, ia masuk dalam organisasi Islam, seperti Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) dan PII (Partai Islam Indonesia) Cabang Medan. Pada Zaman Penjajahan Belanda Matu Mona dipenjara oleh Pemerintah Belanda karena tulisannya yang berjudul "Ranting Emas Pohon Perak" yang isinya menyindir pemerintah Belanda.
Menjelang keruntuhan Pemerintah Belanda, Matu Mona kembali masuk penjara. Matu Mona iajukan ke pengadilan Banjarmasin dan dijatuhi hukuman dua tahun. Dari Banjarmasin ia diangkut dengan kapal ke Surabaya kemudian singgah di penjara Kalisosok. Selanjutnya, ia dibawa ke Yogyakarta dan singgah di penjara Wirogunan. Dari Wirogunan, ia dibawa ke Bandung. Di penjara Banceuy, Bandung ia kemudian diinterogasi dan sore harinya dikirim ke penjara Sukamiskin, Bandung.
Pada masa penjajahan Jepang, Matu Mona mulai lagi mengirimkan karangan-karangannya ke majalah Pandji Poestaka(waktu itu majalah Pandji Poestaka sudah diperbolehkan terbit oleh Barisan Propaganda Jepang). Matu Mona adalah pembantu tetap pada majalah Pandji Poestaka.
Pada masa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 hingga tahun 1946, Matu Mona berada di Garut bersama temannya dari Aceh. Mereka mendirikan harian Perdjoeangan Rakjat. Saat itu keadaan Garut rusuh dan Bandung telah jatuh ke tangan Sekutu dan Nica. Matu Mona dan kawan-kawannya lari ke Solo. Di Solo ia ddiangkat sebagai pegawai di Penerangan Tentara Divisi tahun 1946—1949. Setelah itu, ia pergi ke Jawa Timur dan bergabung dengan Kompi Blora di Gunung Kawi.
Medan: Sarkawi, (9) Dja Oemenek Djadi-Djaian. 1937. Medan: Toko Buku Islamiah, (10) Poetera Dja Oemenek. 1931. Medan: NV Syarikat Tapanuli, (11) Akibat Perang. 1950. Jakarta: Gapura, (12) "Tjindur Binuang Saudara Kembar". dalam Lukisan Suasana, No.2, Tahun II, (13) "Banteng Ketaton" dalam Lukisan Suasana, No.6, TahunI, Februari/ Maret; cerita Pendek: (1) "Kenang-Kenangan", (2) "Menjinggung Perasaan". 1948. Gema Tanah Air. H.B. Jassin, (3) "Pudjangga Melaju", dalam Indonensia, No. 11--12, Tahun I, Desember 1949, (4) "Kisah Pengarang", dalam Penjedar, No. 19--20, Tahun XVIII, 31 Mei 1954; karya nonsastra (biografi) (1) Penghidoepan Seorang Komponis, (2) Riwajat Penghidoepan dan Perdjoeangan M. Hoesni Thamrin, dan (3) W.R. Soepratman.